SURABAYA – Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, angkat suara soal buntunya penyelesaian konflik lahan di Tambak Wedi, pentingnya kehadiran pihak yang kompeten, khususnya Badan Pertanahan Nasional (BPN), dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk memberikan kejelasan kepada warga yang tengah gelisah mempertanyakan status tanah mereka.
“Kenapa saya selalu menekankan agar yang hadir di forum Komisi A ini adalah orang yang memang berkompeten? Karena hanya mereka yang punya kewenangan dan bisa menjawab langsung akar permasalahan,” tegas Yona diruang Rapat Komisi A Selasa (23/07).
Baca Juga: Layanan Publik dan Bansos di Surabaya Terancam Kacau Akibat Alamat Fiktif Sorot Cak YeBe
Menurut Cak YeBe (sapaan akrabnya) selama ini yang muncul baru satu sisi terang, klaim dari Pemkot Surabaya. Sementara pihak lain yang juga punya otoritas, yakni BPN, belum memberi penjelasan apa pun terkait asal-usul sertifikat hak milik (SHM) yang kini disengketakan.
“Kami berharap BPN bisa menjelaskan, mengapa sertifikat yang diterbitkan oleh mereka sendiri, lewat program PTSL tahun 2019, sekarang tiba-tiba lahannya diklaim sebagai aset Pemkot? Warga butuh jawaban yang jelas,” kata Cak YeBe.
Legislator dari Partai Gerindra itu juga menyebut warga bukan sekadar ‘diberi’ tanah, melainkan membeli lahan tersebut dengan uang pribadi dan melalui proses legal, hingga akhirnya mendapatkan sertifikat resmi.
“Mereka beli tanah itu. Ada transaksi, ada bukti. Lalu terbit sertifikat dari BPN. Sekarang malah disebut itu tanah milik pemerintah kota. Ini jelas membingungkan, dan kalau tidak segera dijelaskan, konflik ini akan terus berulang,” tambahnya.
Baca Juga: Revitalisasi Pasar Untuk Hunian, Ekonomi Hidup Warga Tertampung kata Cak YeBe
Ia menyayangkan ketidakhadiran BPN dalam RDP, karena tanpa klarifikasi langsung dari instansi penerbit sertifikat, pembahasan hanya akan berjalan satu arah.
“Kalau hanya dari Pemkot saja, dan BPN tidak menjelaskan, bagaimana mungkin warga bisa puas? Ini bukan sekadar soal legalitas, tapi soal kepastian hak,” pungkasnya.
Di sisi lain, Pemkot Surabaya tetap bergeming. Melalui Kabid Hukum dan Kerjasama, Rizal, Pemkot menyatakan lahan yang dipersoalkan sudah tercatat sebagai aset resmi dalam SIMBADA sejak 1982, hasil tukar guling dengan pihak swasta.
Baca Juga: Cak YeBe Gandeng Jurnalis, Masifkan Berita Potensi PAD kota Surabaya
“Kami harus patuh pada data yang tercatat. Karena itu kami minta pendampingan dari Kejaksaan untuk memastikan langkah kami sah secara hukum,” ujarnya.
Komisi A berjanji akan menjadwalkan ulang pertemuan dan mengundang langsung Kepala Kantor Pertanahan Surabaya agar bisa menjelaskan status lahan dengan terang di hadapan semua pihak.(Rda)
Editor : rudi