Aksi Damai Tolak UU TNI, Warga Dirikan Tenda di Depan Gedung DPR Namun Dibubarkan Paksa

Sejumlah massa melakukan aksi mendirikan tenda di gedung DPR RI. Dokumentasi ©ANTARA/Bayu Pratama S
Sejumlah massa melakukan aksi mendirikan tenda di gedung DPR RI. Dokumentasi ©ANTARA/Bayu Pratama S

JAKARTA - Suasana di depan Gerbang Pancasila, Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, berubah sejak awal pekan ini. Sejumlah warga sipil dari berbagai daerah mendirikan tenda di kawasan tersebut, tepatnya di Jalan Gelora, Tanah Abang.

Hal itu merupakan aksi damai menolak pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Baca Juga: Kebijakan Prabowo Picu Kekhawatiran Arus Keluar Dana Orang Kaya Indonesia ke Luar Negeri

Aksi dimulai sejak Senin (7/4). Mereka datang secara mandiri, tanpa atribut organisasi atau kelompok tertentu.

Salah satu perwakilan massa aksi, Al, mengatakan bahwa peserta aksi berasal dari berbagai daerah seperti Karawang, Jakarta, dan Depok. Mereka berkumpul dengan satu tujuan: menyampaikan penolakan terhadap UU TNI secara damai.

“Kami datang atas inisiatif pribadi. Ini gerakan kolektif dari masing-masing individu, bukan mewakili lembaga tertentu,” ujar Al pada wartawan, di lokasi aksi, Rabu (9/4).

Aksi mendirikan tenda di depan gedung parlemen ini bukan tanpa alasan. Mereka berharap kehadiran tenda-tenda tersebut bisa menarik perhatian para anggota dewan yang melintas menuju gedung DPR/MPR, sebagai pengingat bahwa ada suara masyarakat yang menolak pengesahan UU TNI.

Namun, perjalanan aksi ini tidak mulus. Pada Selasa sore (8/4/2025), petugas Pengamanan Dalam (Pamdal) DPR RI meminta para demonstran memindahkan tenda mereka dari depan Gerbang Pancasila ke trotoar Jalan Gelora.

Demi menghindari konflik, massa aksi pun memindahkan tenda-tenda mereka ke trotoar, persis di seberang gerbang utama DPR.

Untuk menghindari kesalahpahaman dengan pejalan kaki, mereka memasang tulisan di atas potongan kardus bertuliskan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan.

Dalam tulisan itu juga tertera tagar #BatalkanRUUTNI dan #SupremasiSipil sebagai penegasan tuntutan mereka.

“Mohon maaf perjalanan anda terganggu. Aksi protes kami digusur ke trotoar,” demikian bunyi pengumuman sederhana yang mereka pasang di sudut trotoar.

Meski tenda-tenda berdiri di atas trotoar, ruang bagi pejalan kaki masih tersedia. Namun, Al menyebutkan bahwa sepanjang aksi berlangsung, upaya pengusiran terus terjadi, bahkan bisa mencapai tiga hingga empat kali dalam sehari.

Petugas yang datang untuk membubarkan aksi bergantian, mulai dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Pamdal DPR, hingga pihak kepolisian.

“Alasannya macam-macam, ada yang bilang aksi kami tidak jelas, ada juga yang bilang ini demo tanpa isi,” tutur Al.

Baca Juga: Pemerintah Siapkan Langkah Strategis untuk Kelancaran Arus Mudik dan Balik 2025

Setelah bertahan selama tiga hari, pada Rabu (9/4/) sore pukul 17.00 WIB, aksi damai ini akhirnya dibubarkan secara paksa oleh sekitar 30 personel Satpol PP.

Al menceritakan bahwa pembubaran dimulai ketika seorang petugas Satpol PP, Teguh B, menggunakan pengeras suara untuk memerintahkan anggotanya membongkar tenda dan mengangkut barang-barang milik peserta aksi.

Negosiasi sempat dilakukan antara perwakilan massa dan pihak Satpol PP. Namun, perundingan itu tidak menemukan titik temu. Akhirnya, petugas membongkar paksa tenda-tenda dan mengangkut makanan, minuman, serta perlengkapan pribadi milik peserta aksi.

“Terjadi perdebatan dan tarik-menarik saat petugas membongkar tenda. Ada yang merusak dan membuka tenda secara paksa, bahkan makanan dan minuman kami juga diangkut,” ungkap Al.

Ia juga menambahkan bahwa sempat terjadi gesekan antara petugas Satpol PP dengan sejumlah ibu-ibu peserta aksi yang mencoba naik ke truk Satpol PP untuk mengambil kembali makanan dan minuman mereka.

Menurut Al, aksi mendirikan tenda ini dilakukan dengan semangat damai, sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang meminta agar demonstrasi di Indonesia berjalan tertib dan tidak anarkistis.

“Pak Presiden sendiri bilang, aksi harus damai. Ini cara kami menunjukkan bahwa aksi ini damai,” ujar Al.

Baca Juga: Presiden Prabowo Kunker ke Smelter Freeport di Gresik dan Meresmikan Renovasi Gelora Delta Sidoarjo

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto sempat menanggapi maraknya demonstrasi di berbagai daerah pada awal masa pemerintahannya. Dalam pertemuan bersama enam pemimpin redaksi media nasional di Hambalang, Bogor, Minggu (6/4/), Prabowo menegaskan bahwa demonstrasi adalah bagian dari demokrasi.

Namun, Prabowo juga mengingatkan publik agar tetap objektif dalam melihat aksi-aksi unjuk rasa tersebut. Ia meminta masyarakat mencermati apakah aksi tersebut murni sebagai penyampaian aspirasi atau justru didorong oleh kepentingan tertentu.

“Coba perhatikan, apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar? Harus objektif dong,” ujar Prabowo dalam pernyataannya, dikutip dari kanal YouTube Harian Kompas.

Meski begitu, Presiden menegaskan bahwa aksi unjuk rasa seyogianya dilakukan secara damai, tanpa menimbulkan kerusuhan.

“Kita hormati hak untuk berdemo, asal damai. Tidak mau menyulut kerusuhan. Kalau bakar ban, itu bukan damai,” ujar mantan Menteri Pertahanan itu. (red)

Baca Lebih Banyak di Sini

Editor : Fudai