Roko Molas Poco Menjadi Simbol Kesetaraan Gender Masyarakat NTT

avatar Artik News

SURABAYA | ARTIK.ID - Meski di era modern ini perempuan telah mengalami kemajuan terutama di bidang pemikiran, serta peranannya yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan.

Namun tak bisa dipungkiri eksistensinya dalam budaya dan tradisi tak banyak bergeser dari apa yang disebut marginal dan ketidakadilan yang dianggap wajar.

Baca Juga: Nulis Puisi, Duta Baca Jatim Ajak Generasi Muda Jadi Agen Perubahan Lawan Covid - 19

Terkait hal itu, sekelompok mahasiswa Universitas Dr. Soetomo Surabaya, melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), dalam sebuah laporan kebudayaan, menunjukkan bahwa terdapat suatu budaya di NTT Manggarai, yang menjunjung tinggi kesetaraan perempuan melalui tradisi.

Salah satu tradisi tersebut adalah tradisi roko molas poco. Roko molas poco memiliki makna sebagai memikul secara bersama-sama kayu terbaik dari gunung.

Roko berarti pikul atau memikul, Molas berarti cantik, dan poco berarti gunung atau hutan. Tradisi tersebut merupakan tradisi membangun rumah adat atau mbaru gendang. 

Sebelum pelaksanaan roko molas poco, dilakukan berberapa rangkaian kegiatan yakni perencanaan pembangunan rumah adat yang melibatkan warga kampung untuk membantu, pembagian tugas tersebut meliputi menebang pohon dan mengambil pohon terbaik dari hutan.

Seorang narasumber, Teresia mengatakan, dalam tradisi ini sangat menarik, karena terdapat seorang perempuan yang duduk di atas kayu yang digunakan sebagai tiang utama (siri bongkok) yang akan dijadikan sebagai penyangga rumah adat.

Dalam hal ini siri bongkok yang disimbolkan dengan seorang gadis sangat dihormati dan diarak secara bersama, dikarenakan perempuan dipandang sebagai insan yang rela berkorban dan selalu bersedia menjadi pengayom, pelindung, dan tempat tumpuan hidup bagi masyarakat setempat.

Baca Juga: Pagelaran Baca Puisi, Sejumlah Tokoh Unjuk Kebolehan

Dalam memilih kayu tersebut bukan pula sembarang kayu yang ada, melainkan kayu yang digunakan sebagai tiang utama harus benar-benar kayu yang kuat dan kokoh supaya layak sebagai penopang yang disebut dengan haju worok.

Haju worok artinya kayu besar dan kuat. Haju worok adalah sejenis kayu yang ukurannya sangat besar, kuat dan lurus. Kayu ini tidak tumbuh disembarang tempat dan hanya tumbuh di poco (hutan belantara). 

“Sehingga kayu yang digunakan sebagai siri bongkok ini begitu kuat dan keras, kayu yang tidak akan termakan oleh rayap, bahkan ketika terkena air secara terus menerus tidak akan lapuk, namun akan membuatnya semakin keras dan kuat,” kata Teresia. 

Kayu yang dijadikan sebagai tiang utama (siri bongkok) harus diambil, diterima, dijemput, dan diarak secara langsung dan diiringi dengan nyanyian.

Tujuannya adalah supaya rumah adat (mbaru gendang) menjadi sumber kesejukan untuk seluruh kampung.

Pengangkatan siri bongkok ke tempat yang dijadikan sebagai pondasi rumah adat berbeda dengan membangun rumah adat pada umumnya.  

Perempuan yang dipersonifikasikan sebagai siri bongkok ini merupakan perempuan yang masih perawan, sehingga menjadi simbol hidup suci dan jujur. Artinya dalam membangun sebuah rumah harus berlandaskan material (bahan) yang kuat dan suci. 

(kintan)

Editor : Fudai