Puluhan Tahun Bayar Pajak Diterima, Kini Warga Dituduh Menempati Tanah Aset "KONYOL Bukan"

SURABAYA – Wajah keadilan dipertanyakan di tengah gemerlap pembangunan Kota Surabaya. Di Tambak Wedi, ratusan warga yang telah tinggal dan membayar pajak tanah puluhan tahun kini dihadapkan pada realitas pahit: status tanah mereka dipersoalkan, dan mereka disebut menempati aset milik Pemerintah Kota Surabaya.

Padahal, mayoritas warga telah mengikuti program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) program resmi pemerintah pusat melalui Kementerian ATR/BPN—yang bertujuan memberikan kepastian hukum atas hak tanah, serta menghindari sengketa.

Baca Juga: SHM Dari Negara, Disanggah Pemkot Surabaya :Dimana Kepastian Hukum PTSL..!!

“Ini tanah yang kami tempati sudah puluhan tahun. Kami bayar PBB setiap tahun. Sertifikat pun terbit lewat jalur resmi PTSL. Tapi sekarang tiba-tiba dibilang tanah Pemkot. Kalau memang itu aset negara, kenapa dari dulu kami dibiarkan bayar pajak?” tanya Mustaqim, tokoh masyarakat setempat. 

Warga menilai ada ketidakkonsistenan kebijakan antara pusat dan daerah. Di satu sisi, pemerintah pusat melalui PTSL memberi pengakuan hukum kepada rakyat. Di sisi lain, pemerintah daerah justru mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya.

Dari sisi Pemkot, Kabid Hukum dan Kerja Sama Rizal menyebut bahwa jika ada kekeliruan prosedur dalam penerbitan sertifikat, maka sertifikat tersebut bisa dibatalkan.

“Kalau prosedurnya tidak sesuai, secara hukum itu bisa dibatalkan. Kami juga sudah minta bantuan Jaksa Pengacara Negara di Tanjung Perak untuk mengkaji legalitasnya,” ujarnya.

Baca Juga: Pemkot Surabaya Bagikan Perlengkapan Sekolah Gratis untuk 6.144 Penerima Beasiswa Pemuda Tangguh

Namun, warga mempertanyakan di mana letak pelanggarannya. Tanah yang mereka tempati telah diverifikasi secara fisik, dokumen, dan administratif oleh tim gabungan saat PTSL dilakukan. Bahkan, beberapa warga sudah menggunakan sertifikat tersebut untuk akses perbankan.

Kasus ini menyoroti persoalan klasik agraria di Indonesia: ketika negara lambat atau tidak sinkron dalam mengelola data tanah, rakyatlah yang jadi korban.

Selama puluhan tahun, warga patuh membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tanda pengakuan negara atas penguasaan tanah.

Baca Juga: Abdul Malik Tinjau Puskesmas wonokusumo dorong Peningkatan layanan demi kesehatan warga

“Jika memang tanah itu milik Pemkot Surabaga, kenapa sejak awal mereka menerima pajak dari warga? Apakah tidak tahu bahwa yang membayar itu bukan pemilik sah?” ungkap Mustaqim.

“Kami bukan perampas tanah. Kami warga sah negara ini, dan kami taat aturan. Tapi kalau aturan bisa berubah seenaknya, lalu bagaimana kami harus hidup?” tutup Mustaqim.

Konflik antara legalitas formal dan kepemilikan historis tanah rakyat adalah bom waktu agraria Surabaya kini menjadi contoh nyata bahwa ketidakpastian hukum bukan hanya soal administrasi, tetapi soal keberlangsungan hidup. (Rda) 

Editor : rudi