JAKARTA - Sistem pembayaran nasional berbasis QR code, KRIS (Kode QR Standar Indonesia), sempat digadang-gadang akan menjadi jembatan transaksi digital lintas negara. Namun, ambisi besar ini kini terancam kandas setelah Indonesia hanya ditempatkan sebagai observer dalam proyek internasional bernama Nexus.
Sebelumnya, Amerika Serikat sempat mengkritik kebijakan sistem keuangan Indonesia, termasuk KRIS dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional), karena dianggap membatasi ruang gerak perusahaan asing dan menghambat arus perdagangan digital. Kritik ini memicu kekhawatiran bahwa sistem lokal Indonesia bisa jadi alat tawar-menawar dalam hubungan bilateral.
Baca Juga: Bank Indonesia Cabut 4 Uang Kertas Lama dari Peredaran, Segera Tukarkan Sebelum 30 April 2025
Namun pemerintah justru menunjukkan sikap sebaliknya. Alih-alih menahan laju, Indonesia justru mendorong perluasan KRIS ke luar negeri. Sayangnya, di balik ekspansi itu, terjadi blunder besar. Indonesia kalah langkah dalam perebutan posisi strategis standar pembayaran global.
Secara performa, KRIS memiliki keunggulan nyata dibanding dua raksasa global, Visa dan Mastercard. Sistem ini bisa digunakan di berbagai platform digital tanpa bergantung pada perusahaan tertentu. Biaya transaksinya pun jauh lebih rendah bahkan gratis untuk nominal di bawah Rp100 ribu.
Sebagai perbandingan, laba gabungan Visa dan Mastercard pada 2024 mencapai 64,1 miliar USD atau sekitar Rp1.059 triliun, jauh di atas total laba BUMN Indonesia yang hanya sekitar Rp304 triliun. Meski begitu, KRIS tetap unggul secara inklusivitas, efisiensi, dan jangkauan pengguna, termasuk UMKM dan warung kecil.
Dijadikan Template, Bukan Pemain Utama
Meski KRIS diakui sebagai sistem canggih, negara-negara tetangga hanya menjadikannya acuan teknis interoperabilitas. Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam tetap memakai sistem lokal masing-masing. Indonesia pun tak mendapatkan royalti, lisensi, atau posisi penentu standar regional.
Baca Juga: Meski Diprotes AS, Bank Indonesia Tetap Perluas Jangkauan QRIS ke Lintas Negara
Kondisi ini makin pelik setelah Indonesia ikut proyek Nexus, inisiatif global yang bertujuan menyambungkan sistem pembayaran antarnegara. Ironisnya, meski menjadi inisiator, Bank Indonesia hanya berperan sebagai observer atau pengamat. Artinya, Indonesia tak punya kontrol langsung atas standar maupun arah kebijakan proyek ini.
Nexus sendiri didukung oleh Bank for International Settlements (BIS) yang berbasis di Swiss. Pada Juli 2024, empat bank sentral ASEAN telah menyepakati pembentukan entitas bernama Nexus Scheme Organization (NSO), yang akan mengatur seluruh sistem ini. Dan lagi-lagi, Indonesia hanya duduk di bangku pengamat.
Swiss Untung, Indonesia Gigit Jari
Kendali sistem kini berada di tangan Swiss. Negara tersebut berpotensi mengatur standar, menarik biaya transaksi, lisensi, hingga keanggotaan dari negara-negara anggota. Padahal, KRIS lahir dari inisiatif dan investasi Indonesia.
Baca Juga: Meski Diprotes AS, Bank Indonesia Tetap Perluas Jangkauan QRIS ke Lintas Negara
Jika tidak segera bertindak, Indonesia bisa kehilangan kesempatan untuk memimpin sistem pembayaran lintas negara yang inklusif dan efisien. Harus ada langkah diplomasi teknis yang lebih agresif, agar Indonesia tak sekadar menyumbang teknologi, tetapi juga memetik keuntungan ekonomi dan geopolitik dari sistem yang telah dibangunnya sendiri.
Pakar menyarankan agar Indonesia tidak hanya menjadikan KRIS sebagai template. Perlu ada pengembangan menjadi sistem siap pakai, khususnya untuk negara berkembang, agar dapat mendulang royalti dan lisensi secara nyata.
KRIS adalah inovasi luar biasa. Tapi, sejarah membuktikan bahwa mereka yang menguasai standar dan tata kelola, adalah yang akan memegang kendali ekonomi masa depan. (red)
Editor : Fudai