JAKARTA - Wacana penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang diusulkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan didukung oleh Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, menuai berbagai respons dari masyarakat, termasuk dari kalangan akademisi dan praktisi hukum.
Menanggapi usulan tersebut, Dr. I Made Subagio, S.H., M.H., Managing Partner Kantor Hukum Gusti Dalem Pering Law Firm, menilai bahwa penghapusan SKCK perlu dikaji lebih dalam dari sisi konstitusionalitas, perlindungan hukum, serta dampaknya terhadap masyarakat dan dunia kerja.
SKCK: Antara Hak Narapidana dan Kepentingan Publik
Menurut Dr. Subagio, S.H., M.H., penghapusan SKCK memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, kebijakan ini dapat mempermudah mantan narapidana untuk mendapatkan pekerjaan setelah bebas dari hukuman, sehingga mengurangi kemungkinan mereka kembali melakukan tindak kriminal akibat kesulitan ekonomi.
"Hak untuk mendapatkan pekerjaan adalah bagian dari hak asasi manusia. Jika persyaratan administratif seperti SKCK justru menghambat seseorang untuk mendapatkan pekerjaan, maka perlu ada evaluasi lebih lanjut," ujar Dr. Subagio, S.H., M.H., saat diwawancarai.
Namun, di sisi lain, ia mengingatkan bahwa SKCK berperan penting dalam memberikan informasi mengenai rekam jejak seseorang, khususnya dalam proses rekrutmen di sektor-sektor yang membutuhkan standar etika dan keamanan tinggi, seperti tenaga pendidik, perbankan, atau industri yang berkaitan dengan keamanan publik.
"Tanpa adanya SKCK, bagaimana kita bisa memastikan seseorang yang bekerja di sektor strategis atau sensitif benar-benar memiliki rekam jejak yang bersih? Masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan jaminan keamanan dan kenyamanan dalam berbagai sektor pelayanan," tegasnya.
Dampak Hukum: Haruskah SKCK Dihapus atau Diperbaiki?
Dr. Subagio, S.H., M.H., menilai bahwa alih-alih menghapus SKCK sepenuhnya, pemerintah sebaiknya mereformasi sistemnya agar lebih transparan, adil, dan tidak diskriminatif, khususnya bagi mantan narapidana yang telah menebus kesalahan mereka.
"Solusi yang lebih bijak adalah bukan menghapus SKCK, tetapi memperbarui sistemnya agar lebih inklusif. Misalnya, dengan memberikan status ‘telah direhabilitasi’ bagi mantan narapidana yang telah menjalani hukuman dan tidak memiliki catatan kriminal baru," ujarnya.
Selain itu, ia menyoroti bahwa dalam beberapa kasus, penghapusan SKCK bisa menimbulkan risiko hukum, terutama dalam konteks hukum perdata dan pidana.
"Misalnya, dalam kasus-kasus tertentu yang membutuhkan latar belakang hukum seseorang, bagaimana perusahaan bisa melakukan due diligence tanpa adanya SKCK? Apakah nanti akan ada mekanisme lain yang bisa menggantikan fungsinya?" lanjutnya.
Solusi Alternatif: Digitalisasi dan Reformasi SKCK
Sebagai solusi, Dr. Subagio, S.H., M.H., mengusulkan agar pemerintah melakukan digitalisasi dan penyederhanaan prosedur SKCK, sehingga lebih mudah diakses tanpa membebani masyarakat secara administratif maupun finansial.
"Daripada menghapus SKCK, lebih baik pemerintah mengoptimalkan teknologi dengan menerapkan sistem digitalisasi yang cepat dan efisien, serta membebaskan biaya bagi kelompok masyarakat tertentu yang membutuhkan," katanya.
Ia juga menyarankan adanya regulasi yang membatasi penggunaan SKCK hanya untuk pekerjaan di sektor-sektor tertentu, sementara untuk pekerjaan umum, SKCK bisa digantikan dengan sistem penilaian berbasis referensi dari lingkungan sosial atau lembaga rehabilitasi.
Kesimpulan: Perlu Kajian Mendalam Sebelum Dihapus
Dr. Subagio, S.H., M.H., menekankan bahwa meskipun penghapusan SKCK memiliki tujuan baik dalam mendukung hak mantan narapidana untuk mendapatkan pekerjaan, langkah ini tidak boleh dilakukan tanpa kajian yang matang.
"Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya berorientasi pada kepentingan individu, tetapi juga mempertimbangkan keamanan dan kepentingan masyarakat luas," pungkasnya.
Dengan berbagai pro dan kontra yang muncul, reformasi sistem SKCK tampaknya menjadi jalan tengah yang lebih realistis daripada sekadar menghapusnya secara total. Keputusan akhir harus didasarkan pada kajian hukum yang komprehensif agar tidak menimbulkan dampak negatif di masa depan.(*)
Editor : LANI