Aksi Demo Rakyat Tuntut Keadilan Sosial, Problem Klasik Setiap Era Pemerintahan Republik Indonesia

Oleh : Abdul Rasyid, Sekjen LPKAN Indonesia, Aktivis, dan Pemerhati Kebijakan Publik

Jakarta, 04 September 2025

Baca Juga: Azizah Salsha Dituding Selingkuh, Ahli Tarot Denny Darko Sebut Ada Muatan Politis

Sejarah perjalanan Republik Indonesia merupakan cerminan dari dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang terus berkembang sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Indonesia didirikan atas dasar Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan persatuan bangsa. Namun dalam praktiknya, setiap era pemerintahan menghadapi problematika mendasar berupa konspirasi oligarki, korupsi, kapitalisme, serta lemahnya penegakan hukum yang berdampak pada ketidakadilan sosial.

Fenomena demonstrasi yang mewarnai setiap era pemerintahan menunjukkan adanya ketegangan antara aspirasi rakyat dan kebijakan negara. Tindakan represif aparat, praktik anarkis, hingga penjarahan menjadi bagian dari dinamika politik Indonesia. Makalah ini bertujuan untuk merefleksikan perjalanan sejarah Indonesia dari era Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, hingga kontemporer dengan menitikberatkan pada relasi antara oligarki kekuasaan, demokrasi, hukum, dan keadilan sosial.

1. Era Orde Lama (1945–1966)

Era Orde Lama merupakan fase awal konsolidasi bangsa setelah kemerdekaan. Sistem pemerintahan masih mencari bentuk ideal antara demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, serta gagasan ekonomi nasional yang bebas dari dominasi asing. Namun, kondisi politik saat itu diwarnai instabilitas: pergantian kabinet, konflik ideologi (nasionalisme, agama, komunisme), hingga krisis ekonomi.

Demonstrasi mahasiswa, aksi buruh, dan pergolakan daerah menjadi ekspresi kekecewaan terhadap pemerintah. Aparat sering menggunakan cara-cara represif untuk meredam. Demokrasi saat itu cenderung diarahkan untuk memperkuat kekuasaan presiden, sementara kepentingan rakyat sering terabaikan.

2. Era Orde Baru (1966–1998)

Lahir dari situasi krisis pasca peristiwa 30 September 1965, Orde Baru tampil dengan janji stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Namun, orientasi kekuasaan yang sentralistik dan otoriter melahirkan praktik oligarki antara militer, birokrasi, dan pengusaha kelas kakap melahirkan pemerintahan ;

1. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) mengakar dalam birokrasi.
2. Kapitalisme ekonomi berkembang melalui konglomerasi yang dekat dengan penguasa.
3. Demokrasi hanya dijadikan sarana formalitas dalam rangka melanggengkan kekuasaan
4. Demonstrasi rakyat kerap dibalas dengan kekerasan, seperti peristiwa Malari (1974) dan penembakan mahasiswa (1998).

Akhirnya, krisis ekonomi 1997–1998 mempercepat runtuhnya rezim ini akibat gelombang demonstrasi besar-besaran.

3. Era Reformasi (1998 - sekarang)

Reformasi membawa semangat baru: keterbukaan politik, multipartai, desentralisasi, dan kebebasan pers. Tuntutan utama adalah penghapusan KKN, supremasi hukum, dan demokratisasi.

Namun, perjalanan Reformasi menunjukkan paradoks. Oligarki politik-ekonomi justru bertransformasi ke dalam sistem demokrasi. Partai politik yang seharusnya menjadi corong aspirasi rakyat lebih banyak berfungsi sebagai instrumen perebutan kekuasaan dan sumber rente ekonomi.
Banyak undang-undang kontroversial lahir yang dinilai lebih berpihak pada kepentingan elite, seperti regulasi investasi, pertambangan, hingga revisi UU KPK. Demonstrasi mahasiswa dan masyarakat tetap berlangsung, menandakan adanya ketidakpuasan terhadap arah Reformasi.

Karakteristik Utama Era Reformasi
1. Transisi Demokrasi:Indonesia beralih dari sistem otoriter Orde Baru menuju demokrasi yang lebih terbuka dan partisipatif, dengan peningkatan kebebasan sipil dan politik. 
2. Pluralisme Politik:Munculnya banyak partai politik baru dan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses politik, yang sebelumnya ditekan. 
3. Kebebasan Pers dan Berpendapat:Terjadi peningkatan yang signifikan dalam kebebasan berbicara, yang berbeda drastis dengan sensor yang meluas di bawah Orde Baru. 
4. Desentralisasi dan Otonomi Daerah:Amandemen UUD 1945 dan undang-undang terkait memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah. 
5. Amandemen Konstitusi:Empat kali perubahan UUD 1945 antara tahun 1999 hingga 2002 secara mendasar mengubah sistem ketatanegaraan. 

4. Era Kontemporer (Pasca Reformasi hingga Kini)

Saat ini, oligarki semakin menguat melalui dominasi koalisi politik besar, kartel partai, serta hubungan erat antara penguasa dan pengusaha. Kapitalisme global mempertegas ketimpangan sosial; segelintir elite menguasai sumber daya alam Indonesia, sementara rakyat kecil berjuang dalam keterbatasan.

Tarik-menarik antara oligarki dan rakyat adalah drama panjang dalam politik Indonesia. Jika oligarki makin menguat, keadilan sosial akan tetap jadi jargon kosong. Sebaliknya, bila rakyat sadar dan berani mengawasi kekuasaan, peluang perubahan terbuka. Masalahnya, demokrasi kita cenderung melahirkan “kartel politik” sebuah kondisi di mana partai-partai besar saling berbagi kekuasaan, bukan bersaing gagasan. Politik uang masih jadi bahan bakar utama, sementara rakyat hanya dijadikan objek, bukan subjek.

1. Hukum seringkali tajam ke bawah, tumpul ke atas.
2. Demonstrasi tetap menjadi kanal rakyat untuk menyuarakan keadilan, namun masih sering dibalas represif.
3. Demokrasi prosedural berjalan, tetapi substansi demokrasi yang menyejahterakan rakyat belum terwujud.

Tantangan di Era Kontemporer
1. Korupsi:Tantangan utama yang masih merajalela di berbagai tingkatan pemerintahan. 
2. Ketidaksetaraan:Isu ketidaksetaraan dalam akses dan distribusi kekayaan tetap menjadi masalah. 
3. Pengaruh Militeristik:Masih ada upaya dari elemen militer untuk mempertahankan pengaruh mereka dalam politik dan masyarakat. 
4. Tantangan Demokrasi:Proses konsolidasi demokrasi yang terus berjalan untuk mencegah erosi, keruntuhan, dan menjaga agar tidak terjadi kembali demokrasi massa yang menguntungkan dan mengokohkan oligarki.

Dari Uraian tersebut, menunjukkan bahwa pola perjalanan sejarah pemerintahan Indonesia yang berulang: oligarki politik-ekonomi mendominasi, hukum dijadikan instrumen kekuasaan, dan demokrasi lebih sering berfungsi sebagai legitimasi daripada instrumen keadilan.

Pancasila yang seharusnya menjadi dasar penyelenggaraan negara lebih sering direduksi menjadi simbol formal, bukan pedoman praksis. UUD 1945 sebagai landasan konstitusi dalam rangka menwujudkan Keadilan sosial belum terwujud secara nyata, karena adanya kesenjangan antara klaster elit dengan klaster alit semakin tajam.

Aksi Demo elemen rakyat menuntut keadilan sosial merupakan Refleksi perjalanan panjang sejarah Indonesia dari Orde Lama, Orde Baru, Reformasi hingga kontemporer memperlihatkan bahwa cita-cita luhur proklamasi 1945 belum sepenuhnya terwujud. Setiap era menghadapi persoalan yang serupa: oligarki, korupsi, kapitalisme, serta lemahnya penegakan hukum.

Oleh karena itu, diperlukan upaya serius untuk :
1. Mengembalikan Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa, bukan sekadar retorika politik.
2. Memperkokoh UUD 1945 sebagai landasan konstitusional bernegara, bukan amandemen konstitusi kontroversial yang berdampak lahirnya Undang-Undang dan Peraturan yang menjadi penghalang dalam demokrasi dan menegakkan keadilan untuk mewujudkan kesejahteraan
3. Membangun demokrasi substansial yang berpihak pada rakyat, bukan hanya prosedural.
4. Mewujudkan hukum yang adil bagi semua, tanpa diskriminasi.
5. Menjamin keadilan sosial sebagai fondasi kesejahteraan bangsa.

“Keadilan sosial hanya bisa terwujud bila rakyat bersatu melawan dominasi oligarki. Jika tidak, demokrasi Indonesia akan terus jadi panggung elite, bukan rumah bersama.”

Dengan demikian, Republik Indonesia dapat kembali kepada roh perjuangan awal berdirinya : Indonesia merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.

Editor : tri