Kemenperin Bentuk Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT, Respons Pembatasan Pasokan Gas

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bergerak cepat menanggapi keresahan pelaku industri penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang terdampak pembatasan pasokan gas dari produsen. Untuk itu, Kemenperin mendirikan “Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT” sebagai wadah pengaduan, penyampaian keluhan, serta masukan dari pelaku industri terkait gangguan pasokan yang mereka alami.

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menjelaskan pembentukan pusat krisis ini menyusul adanya surat dari produsen gas kepada industri penerima HGBT mengenai rencana pembatasan pasokan hingga 48 persen.

Baca Juga: GIIAS Surabaya 2024 Resmi Dibuka oleh Pelaksana Tugas Direktur Jenderal ILMATE Kemenperin

“Hal ini terasa janggal, karena pasokan gas dengan harga normal di atas USD 15 per MMBTU tetap stabil, sementara pasokan untuk HGBT dengan harga USD 6,5 per MMBTU justru dibatasi. Artinya tidak ada masalah produksi maupun distribusi di hulu migas nasional,” ujar Febri di Jakarta, Senin (18/8).

Ia menegaskan, produsen sebaiknya tidak membangun narasi pembatasan pasokan hanya demi menaikkan harga gas.

“Kami tidak ingin industri kembali mengalami nasib seperti sebelumnya, saat relaksasi impor menyebabkan penurunan utilisasi, penutupan pabrik, hingga pengurangan tenaga kerja, khususnya di sektor TPT dan alas kaki,” tambahnya.

Menurut Febri, pembentukan pusat krisis ini dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya laporan dari pelaku industri terkait pasokan gas yang terbatas, tekanan gas yang menurun, serta harga gas yang justru melebihi ketentuan dalam Perpres Nomor 121 Tahun 2020.

Tujuh subsektor yang mendapat fasilitas HGBT, yakni pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet, menjadi pihak yang paling terdampak.

“Kami mendengar langsung suara pelaku industri. Kemenperin tidak boleh tinggal diam. Pusat krisis ini hadir untuk menampung keluhan, memverifikasi kondisi lapangan, menjadi jalur komunikasi cepat antara industri dengan pemerintah, sekaligus instrumen resmi untuk memastikan keberlanjutan usaha,” tegas Febri.

Ia merinci, pusat krisis memiliki tiga fungsi utama: pertama, menerima laporan dari industri penerima HGBT secara terstruktur; kedua, menjadikan laporan sebagai dasar kebijakan; dan ketiga, sebagai bentuk akuntabilitas publik Kemenperin dalam membina industri.

Beberapa laporan yang sudah masuk, kata Febri, menggambarkan kondisi serius di lapangan. Ada perusahaan yang harus menghentikan satu lini produksi, ada yang mengganti gas dengan solar sehingga biaya produksi melonjak, bahkan ada yang sudah menghentikan operasional dan berpotensi melakukan PHK. Situasi ini paling banyak dialami industri keramik, gelas kaca, baja, dan oleokimia.

“Gas adalah komponen vital, baik sebagai energi maupun bahan baku. Jika pasokan terganggu atau harga melonjak, dampaknya langsung terasa pada produktivitas, daya saing, bahkan keberlangsungan industri,” jelasnya.

Ke depan, pusat krisis akan bekerja sama dengan asosiasi industri untuk melakukan pendataan lapangan, mengumpulkan informasi real-time, serta mengadvokasi kebijakan ke kementerian dan lembaga terkait.

“Semua data yang masuk akan menjadi dasar Kemenperin menyampaikan fakta riil kepada pemangku kepentingan. Kebijakan HGBT harus dijalankan konsisten sesuai amanat Perpres,” ungkap Febri.

Ia juga meminta pelaku industri tetap tenang dan percaya bahwa pemerintah berkomitmen menjaga sektor manufaktur.

“Kami tidak ingin industri merasa berjalan sendirian. Crisis Center adalah bukti nyata keberpihakan pemerintah. Kami ingin harga gas kompetitif benar-benar dirasakan, agar industri bisa berproduksi optimal dan menyerap tenaga kerja lebih banyak,” pungkasnya. (red)

 

Editor : Fudai