SURABAYA — Suasana memanas di depan Gedung Bank Mega merangkap satu atap jadi Kabiro trans 7 , Jalan Yos Sudarso, Surabaya. Ratusan massa dari berbagai elemen,Ansor, Banser, Pagar Nusa, hingga PMII bersatu dalam satu suara: mengecam keras tayangan Trans7 yang dinilai melecehkan pesantren dan merendahkan martabat para kiai Hari ini Kamis (16/10).
Tidak hanya massa akar rumput, tiga anggota DPRD Surabaya yang merupakan mantan santri juga turut hadir menyuarakan kekecewaan dan kemarahan mereka. Salah satunya, Tubagus Lukman Amin, menyatakan dengan nada emosional:
Baca Juga: Warga Sawah Polo Keluhkan Curanmor, Bang Udin Dorong Aspirasi Pembangunan Pos Kamling
“Kita semua melihat dengan mata telanjang. Trans7 telah menghina dan melecehkan! Tayangan mereka melukai hati kami, para santri, para kiai, dan seluruh umat pesantren. Ini bukan jurnalisme. Ini framing keji,Narasi Sesat dan Biadab!”
Ia menuduh Trans7 sengaja menyajikan informasi yang telah dipotong-potong dan diedit secara tendensius tanpa pernah benar-benar turun ke lapangan.
“Saya tidak habis pikir, media sebesar itu bisa sekejam ini. Mereka tidak tahu, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan. Ini benteng moral bangsa!”
Kemarahan serupa dilontarkan oleh Muhaimin, anggota Komisi A DPRD Surabaya. Ia menyebut bahwa nama baik santri dan kiai telah dijatuhkan di hadapan publik:
“Jika nama santri dan kiai diframing, direndahkan, itu sama saja dengan merendahkan sejarah bangsa! Surabaya ini berdiri karena darah dan air mata para kiai, para santri!”
Baca Juga: Mutasi Jabatan Sisakan Kekosongan, DPRD Surabaya Minta Pengisian Jabatan Dipercepat
Lain lagi Dalam orasi, Syaifuddin, anggota Komisi A DPRD Surabaya , Ia memimpin massa mengucapkan "Sumpah Santri Indonesia" sebagai bentuk perlawanan dan solidaritas nasional:
"Kami Santri Indonesia bersumpah! Bertanah air satu! Tanah Air Tanpa Penindasan, Bangsa yang gandrung akan keadilan!Bahas kebenaran Bahasa Keadilan, Bahasa Anti Penindasan! Hidup santri! Hidup rakyat!"
Seruan "Lawan!" menggema berkali-kali, mengguncang jalanan kota. Sorak sorai massa dan takbir terus dikumandangkan sebagai bentuk pembelaan terhadap harga diri pesantren dan Kyai.
Baca Juga: M Syaifuddin : Tanggapi isu miring camat ASEM ROWO melanggar kode etik.
Protes ini bukan sekadar unjuk rasa biasa. Ini adalah simbol kemarahan kolektif,sebuah teguran keras dari komunitas pesantren kepada media nasional yang dianggap gegabah dalam menyajikan tayangan yang menyentuh nilai-nilai sakral umat.
“Kami tidak akan berhenti sampai ada pertanggungjawaban yang nyata! Ini soal martabat. Ini soal sejarah. Ini soal masa depan Indonesia!”tutup bang Udin. (Rda)
Editor : rudi