Gianyar – Guru Made Sukarta, Jro Bendesa Adat Batuyang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, menyampaikan pandangan kritis terhadap peran Majelis Desa Adat (MDA) Bali dan kondisi pecalang di tengah berbagai dinamika adat dan sosial di Bali saat ini. Menurutnya, pecalang sebagai ujung tombak penjaga adat dan keamanan desa adat tidak boleh dijadikan alat situasional, tetapi harus diberdayakan secara konsisten dan berkelanjutan.
Baca Juga: Satu Tahun Sanga Sanga, Warisi Semangat Babe, Hadirkan Inovasi Digital Rayakan Perjalanan Bersejarah
“MDA sebagai lembaga adat tidak boleh hanya mempergunakan pecalang saat ada masalah genting saja. Harus konsisten dalam mendampingi dan melindungi mereka, apalagi dalam kasus-kasus seperti yang terjadi di Besakih belakangan ini,” tegasnya.
Soroti Kasus Pecalang Jadi Tersangka, Usulkan Restoratif Justice
Menanggapi kasus di Besakih, di mana seorang pecalang yang semula melaporkan justru menjadi tersangka, Jro Made menilai kejadian tersebut sebagai preseden buruk yang dapat menurunkan semangat dan keberanian pecalang menjalankan tugas.
“Kalau pecalang yang awalnya melapor, malah jadi tersangka, nanti orang bisa takut melaksanakan tugas. Padahal pecalang ini satu-satunya harapan kita menjaga Bali dari premanisme dan kriminalitas,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pendekatan restoratif justice harus menjadi prioritas dalam penyelesaian konflik yang terjadi di lingkungan adat, sebagaimana juga digaungkan oleh Kejati Bali dalam Paruman Adyaksa.
“Kasus seperti ini seharusnya sejak awal diselesaikan dengan pendekatan restoratif justice. Itu wilayah adat, pengamanan dilakukan oleh pecalang, maka penyelesaiannya pun idealnya diselesaikan di tingkat adat dulu,” jelasnya.
Kritik Terhadap MDA: Perlu Suara Tegas ke Pemerintah
Baca Juga: Satu Tahun Sanga Sanga, Warisi Semangat Babe, Hadirkan Inovasi Digital Rayakan Perjalanan Bersejarah
Jro Made juga menyuarakan otokritik terhadap MDA, yang dinilainya kurang proaktif dalam memperjuangkan nasib pecalang, terutama dari segi kesejahteraan. Ia mendesak MDA agar lebih vokal terhadap pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, untuk mengalokasikan insentif yang layak melalui APBD.
“Sejahtera jangan cuma jadi jargon. MDA harus bersuara agar ada realisasi anggaran untuk pecalang. Mereka sudah bekerja menjaga pewidangan dan adat sejak lama,” tegasnya.
Ia menegaskan, ketika MDA benar-benar menjalankan fungsi sebagai katalisator dan mediator yang menjembatani desa adat dengan pemerintah dan aparat penegak hukum, maka Bali akan tetap terjaga, baik dari sisi budaya, agama, maupun keamanan masyarakat adat.
Pentingnya Kemandirian Desa Adat dan Kesadaran Kolektif
Baca Juga: Desa Adat Batuyang Serius Implementasikan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025
Sebagai bendesa adat, ia juga menekankan bahwa desa adat merupakan benteng terakhir dalam menjaga budaya Bali. Karena itu, kesadaran kolektif dari para pemangku adat sangat diperlukan, tidak hanya mengandalkan MDA semata.
“Bali ini satu-satunya daerah yang bisa mempertahankan budaya lewat desa adat. Maka kesadaran menjaga kebersihan, keamanan, adat, dan budaya, seperti membuat perarem soal sampah, itu harus lahir dari kami sendiri,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan pentingnya etika dalam menjalankan tugas pecalang. Menurutnya, pecalang tidak hanya harus tegas dan terukur, tetapi juga melayani masyarakat dengan santun dan penuh hormat, sesuai nilai-nilai adat.(*)
Editor : LANI