JAKARTA - Perubahan iklim ternyata bukan cuma soal cuaca ekstrem atau mencairnya es di kutub. Menurut studi terbaru yang dimuat di Nature Medicine, pemanasan global juga bisa memperparah penyebaran infeksi yang kebal terhadap antibiotik—dan negara-negara berkembanglah yang paling rentan terkena dampaknya.
Baca Juga: PLN Dukung Dekarbonisasi Industri, Siap Pasok Energi Hijau 210 GWh ke H&M Group
Mengutip laporan Bloomberg, temuan ini menantang anggapan lama bahwa resistensi antimikroba (AMR) hanya terjadi karena penggunaan antibiotik yang berlebihan. Studi ini justru mengungkap faktor-faktor lain seperti minimnya dana kesehatan, polusi udara, dan suhu global yang terus naik sebagai pemicu tambahan.
Masalahnya bukan main, bakteri kebal antibiotik diduga menyebabkan sekitar 1,1 juta kematian di seluruh dunia pada 2021. Kalau tren ini terus berlanjut, jumlah tersebut bisa melonjak jadi 2 juta jiwa pada pertengahan abad ini.
Untuk mengetahui sejauh mana perubahan iklim memengaruhi AMR, para peneliti menganalisis lebih dari 4.500 data pemantauan dari tahun 1999 hingga 2022. Mereka juga memakai model komputer untuk memproyeksikan risiko di masa depan.
Hasilnya cukup mengkhawatirkan. Dalam skenario emisi karbon yang tinggi, negara-negara maju diperkirakan hanya akan mengalami kenaikan infeksi kebal obat kurang dari 1% hingga 2050. Tapi negara-negara miskin bisa menghadapi lonjakan hingga 4%.
Bukan cuma soal antibiotik. Menurut studi itu, cara efektif menekan resistensi obat di negara miskin adalah dengan menurunkan beban biaya berobat dan memperluas program imunisasi. Langkah-langkah ini dinilai bisa lebih berdampak daripada sekadar membatasi pemakaian antibiotik seperti Amoxicillin-clavulanic acid.
"Fokus hanya pada penggunaan antibiotik tidak cukup," ujar Chaojie Liu, salah satu penulis studi sekaligus profesor di La Trobe University, Australia.
"Kalau pengendalian AMR tidak dijadikan bagian dari agenda pembangunan berkelanjutan, beban globalnya bisa melonjak tajam," pungkasnya. (red)
Editor : Fudai