SURABAYA – Polemik agraria di Kota Pahlawan semakin mencuat seiring naiknya harga tanah. Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Arif Fathoni, menyoroti lonjakan konflik antara warga dengan perusahaan, termasuk BUMN seperti PT KAI, maupun dengan Pemkot Surabaya.
"Konflik agraria itu ibarat rumus, ketika harga tanah naik, potensi sengketa makin terbuka lebar," tegas Fathoni.
Baca juga: Matangkan Arah Pembangunan, DPRD Surabaya Bahas Finalisasi RPJMD 2025-2029
Ia menekankan pentingnya warga pemilik tanah tidak hanya memiliki dokumen yuridis, tetapi juga melakukan penguasaan fisik atas tanah seperti pemasangan papan nama atau pemagaran untuk menghindari klaim sepihak.
"Praktik pengalihan hak tanah yang tidak transparan.Sering kami temui, pemilik tanah dengan petok D tiba-tiba mendapati bidang tanahnya telah bersertifikat atas nama orang lain," tuturnya.
Sistem hukum Indonesia yang menganut asas stelsel positif membuat sertifikat tanah dianggap sah hingga terbukti sebaliknya di pengadilan. Namun, jalur hukum perdata dinilai terlalu berat bagi masyarakat kecil: prosesnya panjang, menguras tenaga, dan tidak jarang biaya tinggi.
Baca juga: DPRD Kota Surabaya Gelar Rapat Paripurna Perdana Pasca Libur Idul Fitri
Untuk itu, Fathoni mendorong Kantor Pertanahan (BPN 1 dan 2) serta Kanwil BPN Jatim agar berani mengambil diskresi penyelesaian berdasarkan dokumen warkah yang mereka miliki, tanpa harus menunggu putusan pengadilan.
Tak hanya itu, Politisi Partai Golkar itu juga mengkritisi keberadaan tanah warga bersertifikat hak milik yang masih tercatat sebagai aset Pemkot di aplikasi Simbada karena pencatatan lama sejak era 1990-an.
Para pejabat saat ini enggan menghapus pencatatan tersebut karena khawatir terjerat masalah hukum.
Baca juga: RUU TNI Tuai Gejolak, Arif Fathoni Sesali Insiden Jurnalis Korban Aksi Demonstrasi di Gedung Grahadi
Fathoni pun menyerukan agar Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran baru yang memungkinkan sengketa warga dengan korporasi bisa diselesaikan melalui mekanisme peradilan cepat, tanpa bergantung pada nilai kerugian.
"Masyarakat berhak mendapat keadilan dengan proses yang efektif dan waktu yang efisien," pungkasnya. (Rda)
Editor : Fudai