Polemik Dibalik Festival Negeri Dolanan UIN Satu Tulungagung

avatar Artik

TULUNGAGUNG | ARTIK.ID - Semarak Festival Negeri Dolanan yang diselenggarakan Prodi komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah, UIN Sayyid Ali Rahmatullah (Satu) Tulungagung pada hari minggu lalu (26/06/22) tak ayal menuai polemik tak berkesudahan.

Tak hanya tajuk acara, event yang dimotori oleh Tulungagung Culture Carnival inipun menuai tanggapan dari berbagai kalangan. Sebut saja misalnya Budi Harsono, Kepala Sekolah SMPN 1 Bandung Tulungagung. 

Baca Juga: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Jatim Melesat ke Peringkat 2 Nasional

Budi yang kerap mengadakan perlombaan permainan tradisional, “Hanya ada 5 permainan yang dilombakan dan semuanya adalah permainan berkelompok. Ini sepertinya butuh penjelasan lebih lanjut tentang tujuan dipilihnya 5 permainan yang senyatanya tidak representatif milik Tulungagung,” tegasnya.

Menanggapi hal tersebut, Riafita selaku ketua pelaksana menyampaikan bahwa dalam event tersebut tak hanya perlombaan permainan tradisional saja yang digelar. Namun juga dibarengi dengan bazar UMKM, praktik fotografi, festival film pendek dan juga gelar pembacaan puisi dan musik.

Baca Juga: KPID Jatim Gelar Bimtek Terkait Keluhan Izin Penyelenggaraan Penyiaran

“Sedianya festival ini digelar sebagai ajang show up karya-karya mahasiswa Prodi KPI, baik produk UMKM, foto, film dan musik. Diluar dugaan, perlombaan diikuti pengunjung yang kebutulan sedang melintas disekitar Pendopo Jayeng Kusumo, tempat acara berlangsung,” imbuhnya.

Senada dengan hal tersebut, Elis Yusniyawati selaku pemantik terselenggaranya acara inipun angkat bicara, “Sebagai orang komunikasi sudah barang tentu hal-hal yang diinisiasi mengandung maksud dan tujuan tertentu. Lomba memasukkan paku kedalam botol misalnya, butuh kerjasama dan koordinasi yang baik dalam tim,” jelasnya.

Baca Juga: Bincang Pemimpin Bangsa di UIN SATU Bertema 'Kontribusi Perempuan dalam Pemilu 2024'

“Ini kan cuma bagaimana mengapresiasi generasi milenial terhadap permainan tradisional yang nyaris tenggelam di era transformasi digital. Acara semacam ini saya rasa hanya pemantik saja dengan harapan akan lahir apresiasi-apresiasi lain terhadap permainan tradisional yang ada di Tulungagung,” tutup perempuan yang kerap disapa Elisyus itu.

(ara) 

Editor : Natasya