Eksekusi Lahan Gili Sudak Dianggap Prematur, Praktisi Hukum Sebut Harus Sesuai Prosedur

SURABAYA | ARTIK.ID - Rencana eksekusi yang akan di lakukan oleh Pengadilan Negeri Mataram terhadap lahan yang berada di Gili Sudak Sekotong Lombok Barat menjadi sorotan para praktisi hukum di Surabaya. Pasalnya permohonan eksekusi tersebut dianggap masih prematur dan terkesan dipaksakan. Bahkan keputusan untuk segera melakukan eksekusi pengolahan lahan tersebut belum waktunya, karena proses serta tahapannya masih lama.

Hal itu disampaikan Juru Bicara PN Mataram, Lalu Mohamad Sandi Iramaya beberapa waktu lalu, bahwa ketetapan tersebut semua tergantung keputusan Kepala Pengadilan Negeri Mataram. Jadi pihaknya hanya menjalankan tugas sesuai dengan arahan.

Baca Juga: Tragedi Keracunan Alkohol di Cruz Lounge Vasa Hotel, 3 Musisi Meninggal

"Jadi semua ini sudah inkrah mas, pemohon telah mengajukan kepada kami untuk segera dilakukan eksekusi. Pada prinsipnya kami siap, tetapi yang namanya eksekusi itu harus ada pihak keamanan yaitu polisi. Dalam hal ini polisi masih memperimbangkan faktor keamanan di lapangan sehingga jadwal eksekusi ini ditunda," jelas Sandi kepada awak media.

Bersamaan dengan itu, beberapa praktisi hukum yang telah membaca berita sebelumnya ikut angkat bicara. Apalagi di era ini persoalan Tanah menjadi atensi bagi pemerintah Pusat untuk membasmi adanya mafia tanah.

Seorang praktisi hukum bernama Edward Dewaruci, mengomentari adanya rencana eksekusi yang akan di lakukan oleh Pengadilan Negeri Mataram. Dirinya berpendapat bahwa rencana eksekusi ini sangat prematur. Sebab proses eksekusi pengosongan tidak boleh sembarangan dan harus sesuai prosedur.

Baca Juga: Majelis Hakim PN Kota Timika Boxgie Agus Santoso, Vonis Ryan Irawan 10 Tahun Penjara

"Terkait putusan PN Mataram untuk melakukan eksekusi pengosongan tidak bisa di lakukan, mestinya harus mengganti sertifikatnya dulu melalui pembatalan, Kan BPN itu tugasnya mencatat para pemilik tanah yang resmi, terkait dengan kasus tanah di Gili Sudak ini gak bisa di lakukan eksekusi pengosongan lahan karena sertifikatnya belum di batalkan. Harusnya eksekusi balik nama dulu melalui pembatalan sertifikat sebelumnya." Terang Dosen Hukum lulusan UNAIR ini.

Menurut Edward, kalau ekseksui pengosongan itu harus ada gugatan melanggar hukum dulu, yang mana para penghuni di lahan itu bukan lagi pemilik atas nama sertifikat sebelumnya. Alias sertifikat sudah berubah nama.

Baca Juga: Satpol PP Gelar Sidang Tipiring PKL Pelanggar Perda di Pengadilan Negeri Surabaya

"Kalau penghuni di lahan tersebut sudah bukan lagi pemilik sertifikat itu baru bisa di usir karena dinyatakan melanggar hukum sebab menduduki tanah orang lain. Kalau belum memasuki tahap pembatalan sertifikat gak akan pernah bisa di lakukan eksekusi pengosongan lahan," imbuhnya.

"Kita harus membaca putusan secara detail dan apa saja rincian yang di kabulkan oleh putusan itu. Sebab bagaimanapun juga sertifikat itu kedudukannya paling tinggi sebagai bukti kepemilikan lahan. Dan BPN tidak bisa mengikuti begitu saja terhadap keterangan surat jual beli tahun 1974 berarti ada prosedur yang salah jika itu terjadi." Pungkasnya. (red)

Editor : Fudai