AGAMA DI BIBIR, KORUPSI DI TANGAN: IRONI UMAT ISLAM INDONESIA DI TENGAH KRISIS INTEGRITAS DAN KETIDAKMAMPUAN KOLEKTIF MENGHADAPI BUDAYA KORUPSI
Oleh: Mangesti Waluyo Sedjati
Baca Juga: Terlibat Korupsi 7,4 miliar, Tiga Komisioner Bawaslu OI Dijemput Penyidik Kejari
(Ketua Dewan Penasehat DPD LPKAN INDONESIA PROP JATIM, Sekjen DPP Al-Ittihadiyah | Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah)
Sidoarjo, 22 Maret 2025
Pendahuluan
Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, ironisnya, negeri ini juga termasuk dalam daftar negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Di satu sisi, syiar Islam begitu hidup: masjid megah dibangun di berbagai penjuru, pengajian diikuti ribuan orang, dan perjalanan umrah menjadi bagian dari gaya hidup kelas menengah. Di sisi lain, praktik korupsi merajalela di ruang-ruang kekuasaan, pemerintahan, bahkan lembaga pendidikan dan keagamaan.
Fenomena ini memperlihatkan jurang antara agama yang diucapkan dan nilai-nilai integritas yang dijalankan, antara ritual yang semarak dan etika sosial yang luntur. Artikel ini berupaya membedah secara mendalam bagaimana umat Islam di Indonesia berada dalam pusaran budaya korupsi dan bagaimana masyarakat menunjukkan tingkat permisifitas yang tinggi terhadap kejahatan moral dan hukum tersebut.
Ajaran Islam tentang Korupsi: Tegas dan Tidak Toleran
Islam sebagai agama yang diturunkan untuk menegakkan keadilan, menempatkan korupsi sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah dan kezaliman terhadap rakyat.
Dalil-Dalil Anti-Korupsi dalam Islam:
(QS. Al-Baqarah: 188)
“Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu menyuap hakim…”
(HR. Abu Dawud No. 2940)
“Rasulullah melaknat orang yang memberi suap, menerima suap, dan perantara di antara keduanya.•
(QS. Al-Anfal: 27)
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, dan jangan (pula) kamu mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu…”
Korupsi dalam perspektif Islam bukan hanya soal hukum positif, tetapi menyangkut iman, akhlak, dan hisab di akhirat. Maka, koruptor bukan hanya pelanggar hukum negara, tapi juga pelanggar hak-hak manusia dan pengkhianat kepercayaan publik.
Realitas yang Bertolak Belakang: Korupsi Merajalela di Negeri Mayoritas Muslim
Data Empiris:
1. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Transparency International 2023:
• Skor Indonesia: 34/100
• Peringkat: 115 dari 180 negara
• Turun dari skor 40 pada tahun 2019.
2. Laporan KPK (2023):
• Total kasus korupsi ditangani sejak 2004: 1.500+ kasus.
• Lebih dari 65% pelaku berasal dari partai politik atau pejabat daerah.
3. Survei LSI (2022):
• 64% responden menyatakan korupsi “sudah biasa”.
• 38% masyarakat bisa mentoleransi pejabat korup asal “masih dermawan.”
• 59% percaya bahwa “semua orang akan korupsi kalau diberi kesempatan.”
Ironi yang Terjadi:
Banyak pelaku korupsi adalah tokoh publik berpenampilan agamis, rajin umrah, memberi ceramah, bahkan membangun masjid dari dana yang terindikasi hasil korupsi. Hal ini memperlihatkan terjadinya sekularisasi etika, di mana agama hanya menjadi simbol, bukan sistem nilai yang hidup.
Permisifitas Umat Islam Indonesia terhadap Korupsi
1. Budaya Patron-Klien dan Feodalisme Religius
Masyarakat masih cenderung menghormati pemimpin bukan karena integritas, tetapi karena jabatan dan “kedermawanan”. Jika pejabat menyumbang pembangunan masjid atau menggelar pengajian akbar, maka rekam jejak korupsinya cenderung dimaafkan. Agama digunakan sebagai alat legitimasi, bukan kompas moral.
2. Religiusitas Simbolik, Bukan Substantif
Baca Juga: Polri Sita Aset Tersangka Kasus Quotex, Doni Salmanan
Menurut riset Maarif Institute (2021), mayoritas umat Islam Indonesia memiliki religiusitas ritualistik, bukan etis. Agama dipahami sebagai kumpulan kewajiban pribadi, bukan sistem moral dan sosial. Akibatnya, praktik korupsi tidak dirasa bertentangan dengan ibadah ritual.
3. Pendidikan Agama yang Tidak Menyentuh Etika Publik
Pelajaran agama di sekolah-sekolah dan pesantren sering kali terlalu menekankan ibadah dan hukum-hukum fikih, tetapi minim bahasan tentang etika publik, keadilan sosial, dan tanggung jawab sosial. Ini memperkuat sikap permisif terhadap korupsi yang dianggap “urusan dunia.”
4. Diamnya Tokoh Agama dan Ormas Islam
Banyak tokoh agama atau ormas Islam bersikap ambigu terhadap kasus korupsi yang melibatkan pejabat yang sejalan secara politik atau ideologis. Ketika ulama bersikap selektif dalam mengecam korupsi, umat menjadi bingung: mana korupsi yang benar-benar salah, dan mana yang bisa dimaklumi.
Akar Teoritis dan Sosiologis Budaya Korupsi
Teori Budaya Korupsi (Robert Klitgaard):
Korupsi = Monopoli + Diskresi – Akuntabilitas
Dalam konteks Indonesia, diskresi politik tinggi, akuntabilitas rendah, dan masyarakat permisif. Maka, struktur negara cenderung menghasilkan budaya korupsi sistemik.
Teori Tahapan Moral (Kohlberg):
Mayoritas masyarakat masih berada pada tahapan konvensional: menilai benar-salah dari persepsi kelompok, bukan prinsip universal. Maka, jika koruptor berasal dari “golongan sendiri,” ia tetap dihormati.
Baca Juga: Banyak Laporan Fiktif, KPK Minta LHKPN Tiap Tahun
Dampak Budaya Permisif terhadap Masa Depan Bangsa
1. Krisis Keteladanan Nasional
• Generasi muda kehilangan panutan moral. Mereka menyaksikan tokoh agama, guru, dan pejabat justru menjadi pelaku korupsi atau penikmat hasilnya.
2. Dekadensi Institusi Keagamaan dan Pendidikan
• Ketika institusi agama tidak bersuara atau justru “bermain mata” dengan pelaku korupsi, publik kehilangan kepercayaan terhadap moralitas kolektif.
3. Normalisasi Kejahatan Publik
• Korupsi menjadi bagian dari “sistem sosial” yang dianggap lumrah. Ini lebih berbahaya daripada korupsi itu sendiri.
Rekomendasi dan Solusi
1. Revolusi Etika Publik dalam Pendidikan Islam
• Kurikulum pendidikan agama harus direformasi untuk menekankan etika sosial, anti-korupsi, dan tanggung jawab publik.
• Pesantren, madrasah, dan sekolah Islam harus jadi pelopor pendidikan moral substantif, bukan simbolik.
2. Gerakan Ulama Anti-Korupsi
• Ulama, dai, dan muballigh harus tegas dan konsisten mengecam korupsi di mimbar-mimbar, tanpa tebang pilih.
• Perlu lahir “fiqih anti-korupsi” yang kontekstual dan aplikatif.
3. Kampanye Anti-Permisifitas Sosial
• Masyarakat harus dididik bahwa memberi suara atau memaafkan koruptor adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
• Kampanye publik harus menggandeng tokoh agama, influencer, dan media Islam.
4. Penegakan Hukum Tanpa Diskriminasi
• Hukum harus ditegakkan secara adil dan menyeluruh, tanpa pandang bulu.
• Koruptor harus dijatuhi hukuman sosial dan simbolik, agar menjadi pelajaran publik.
Penutup
“Agama di bibir, korupsi di tangan” bukan hanya frasa satir, tetapi realitas sosial umat Islam Indonesia hari ini. Ketika ajaran Islam hanya berhenti di lisan, tanpa membentuk karakter dan integritas, maka agama hanya menjadi ornamen di tengah kebusukan sistemik.
Saatnya umat Islam Indonesia bangkit, merebut kembali ruh ajaran Islam yang sejati: menegakkan keadilan, memberantas kezaliman, dan membangun masyarakat dengan integritas. Jika tidak, umat akan terus hidup dalam kemunafikan kolektif*—berzikir dengan tasbih, tapi memperkaya diri dari uang haram rakyat.
Referensi:
1. Transparency International (2023). _Corruption Perception Index_
2. LSI (2022). _Survei Persepsi Publik terhadap Korupsi_
3. KPK (2023). _Laporan Tahunan Penindakan Kasus Korupsi_
4. Klitgaard, R. (1988). _Controlling Corruption_.
5. Mahfud MD (2009). _Politik Hukum di Indonesia_.
6. Maarif Institute (2021). _Religiusitas dan Etika Publik Umat Islam_
7. *Kohlberg, L. (1981). _Essays on Moral Development_.
Editor : diin