SIDOARJO | ARTIK.ID - Para Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di kawasan Lingkungan Industri Kecil (LIK) Trosobo, Sidoarjo resah.
Pasalnya mereka diwajibkan membayar retribusi oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur (Jatim). Retribusi itu sebesar Rp 65 ribu kali luas lahan. Dan jika ada keterlambatan pembayaran, pengusaha didenda dua persen tiap bulan berjalan. Jumlah Ini belum termasuk PBB yang harus dibayar tepat waktu tiap tahun.
Demikian dikatakan Pengusaha LIK Trosobo, Minggu (11/8/2024).
"Parahnya, meski harus bayar retribusi, kawasan ini kini rawan banjir yang merugikan pelaku usaha seperti kami. Dan jika tak mau bayar, pabrik disegel Satpol PP dan polisi," kata seorang pengusaha di sana.
Dan soal penyegelan ini bukan ancaman belaka karena pernah dilakukan pada tahun 2021, ketika ekonomi serba susah akibat pandemi Covid 19.
Dalam melakukan pembayaranr retribusi ini, pelaku usaha diberi virtual account (akun virtual) yang tertera dalam tagihan.
Namun, beberapa pengusaha bingung dan bertanya-tanya, nomor virtual account-nya berubah-ubah.
"Setahu saya, nomor di virtual account itu tetap, gak berubah. Contoh di aplikasi ecommerce yang sering kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Tapi yang ini kok berubah-ubah?," tanya G, salah satu pengusaha di kawasan LIK.
Senada dengan G, pengusaha yang lain, sebut saja Rudi mempertanyakan, uang retribusi yang dibayarkan itu masuk ke siapa? Siapa yang bertanggung jawab?
"Coba cek rekening dinas terkait, siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang bisa menarik uang di rekening itu. Apa uang yang di rekening ini dilaporkan semua atau tidak?," tukasnya.
Dirinya lalu mempertanyakan soal denda jika retribusi telat dibayar.
"Coba denda itu ditelusuri, masuk kantong siapa?,"ucapnya lagi.
Sementara itu, pelaku usaha lain, Gito menegaskan, pemanfaatan lahan LIK yang semula gratis untuk kemajuan UMKM sekarang di komersilkan dengan retribusi yang memberatkan dan tidak masuk akal
"Terus pengalihan hak sertifikat dari perindustrian ke pemprov tanpa persetujuan penghuni. Boleh disampaikan namun diberi penjelasan bahwa ada ketidaksamaan pendapat tentang kepemilikan tanah dan bangunan di LIK," terangnya
Soal proses peralihan juga dipermasalahkan pelaku usaha. Pasalnya, mereka sempat menjaminkan lahan mereka di sana di Bank BNI, namun sertifikat tak kunjung keluar smpa digugat salah satu pengusaha bernama Tohir.
"Dan saat jamannya otonomi daerah, kawasan ini dialihkan atau dilimpah kan ke Pemprov Jatim, terus kami jadi terkesan seperti sapi perah atau ATM berjalan,"urai dia.
Sebenarnya, pengusaha sudah mengadu ke Gubernur Jatim hingga Presiden tapi belum membuahkan hasil.
"Kami juga mengadu ke level dinas di Pemprov Jatim, dari Dinas Perindustrian hingga Bapenda (Badan Pendapatan Daerah). Tapi semua aduan hasilnya nihil. Bahkan aduan kami ke DPRD Jatim juga tak membuahkan hasil," ungkapnya.
Hanya saja, kata si pengusaha, pihaknya pernah mendapat surat balasan dari Staf Kepresidenan Republik Indonesia.
"Dalam surat itu dikatakan bahwa pembebasan retribusi bisa dilakukan sepanjang disetujui Gubernur,"katanya.
Editor : Fudai