JAKARTA | ARTIK.ID - Indonesia memiliki rencana untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di masa depan, Ini adalah salah satu upaya pemerintah untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Namun, tidak mudah untuk mewujudkan rencana ini, karena ada banyak hal yang harus dipersiapkan dan dipertimbangkan.
Baca juga: Jadi Buah Bibir, RUU Penyiaran Masih Kontroversial
Salah satunya adalah aturan hukum yang mengatur pengembangan dan pengoperasian PLTN di Indonesia.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang (UU) Ketenaganukliran yang mengatur tentang pemanfaatan tenaga nuklir untuk berbagai keperluan, termasuk energi. Namun, UU ini dianggap belum cukup untuk menjamin keselamatan dan keamanan PLTN.
Oleh karena itu, pemerintah sedang menggodok Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EB-ET) yang akan memuat aturan khusus tentang PLTN.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, nuklir memiliki banyak fungsi, mulai dari bidang medis, pangan, hingga energi.
Terkait hal itu, pemerintah pun berencana membangun PLTN berbasis nuklir dengan memastikan keselamatan dan keamanannya.
Baca juga: Pembangkit Nuklir Indonesia akan Beroperasi Penuh pada Tahun 2032
“Kalau bicara energi bersih salah satunya itu nuklir, tapi ini kan isu keselamatan, jadi kami ingin perkuat itu di dalam RUU EBT tentang keselamatannya," kata Dadan Kusdiana.
Penurutnya penguatan itu bertujuan supaya makin meyakinkan dari sisi mulai dari percenaan sampai ke commisioning.
Namun, tidak semua pihak setuju dengan rencana pemerintah ini. Lembaga riset dan advokasi, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai RUU EBT dapat membatasi pendanaan transisi energi di Indonesia.
Menurut ICEL, dana seharusnya digunakan untuk energi terbarukan saja, bukan untuk energi baru seperti nuklir.
Baca juga: Pembangkit Nuklir Indonesia akan Beroperasi Penuh pada Tahun 2032
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL Fajri Fadhillah mengatakan, pemerintah seharusnya menghapus energi baru dalam Rancangan RUU EBT, sehingga RUU tersebut diubah menjadi Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (RUU ET) agar pendanaan hijau fokus di energi terbarukan saja.
“Kami khawatir jika RUU EBT disahkan, maka akan ada potensi alokasi dana yang tidak tepat sasaran. Misalnya, dana yang seharusnya digunakan untuk pengembangan energi terbarukan malah dialihkan untuk mendukung energi baru seperti nuklir,” kata Fajri.
(diy)
Editor : Fuart