JAKARTA | ARTIK.ID - Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi produsen baterai kendaraan listrik (EV) di dunia, karena memiliki sumber daya mineral yang melimpah, seperti nikel, kobalt, dan litium. Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah mudah.
Beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa, berusaha menghambat pengembangan industri baterai EV di Indonesia dengan berbagai cara.
Baca Juga: Antam dan HKCBL Selesaikan Transaksi Hilirisasi Nikel untuk Baterai EV
Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menerapkan standar lingkungan yang ketat bagi produsen baterai EV. Padahal, standar tersebut tidak selalu sesuai dengan kondisi dan kemampuan Indonesia.
Selain itu, negara-negara tersebut juga berupaya menguasai pasar baterai EV dengan memberikan subsidi dan insentif yang besar bagi industri mereka.
Menanggapi hal ini, Menteri Perindustrian Republik Indonesia, Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa Indonesia tidak akan menyerah begitu saja.
Bahlil menegaskan bahwa Indonesia akan menyiasati upaya penghambatan tersebut dengan berbagai strategi.
“Kita buat counter attack, oke kalian kalau mau begitu sampai katoda kita kirim bahan bakunya di sana tidak apa-apa karena sudah 60 sampai 70 persen diolah, tapi kalau mereka mau dari bahan baku mentah saja kita kenakan pajak ekspor kita kan nggak boleh dikibulin juga, harus fair,” kata Bahlil dalam keterangan resmi, Sabtu (01/07/2023).
Baca Juga: Ikut Campur Hilirisasi Indonesia, IMF Ungkit Hutang RI yang Sudah Lunas 2006
Adapun, IRA memperketat kriteria mineral logam yang dapat menerima insentif kendaraan listrik yang dialokasikan pemerintah AS selepas 2023. Adapun, undang-undang itu menghimpun dana subsidi sebesar US$370 miliar untuk pengembangan teknologi bersih.
Beberapa kriteria itu, di antaranya mewajibkan mineral logam diolah di AS serta bahan baku yang diperoleh mesti berasal dari sejumlah negara yang telah memiliki perjanjian perdagangan bebas atau FTA dengan pemerintah AS. Dominasi perusahaan China pada industri smelter Indonesia juga turut menjadi perhatian pemerintah AS.
Sementara itu, CRM mewajibkan agar pabrik hilir dari turunan mineral kritis seperti sel baterai mesti berdekatan dengan industri mobil listrik di negara anggota Uni Eropa. Kebijakan itu ingin memastikan nilai tambah pengolahan mineral tetap berada di benua biru.
Baca Juga: Tingkatkan Nilai Tambah, MIND ID Ingin Kuasai Saham Mayoritas PT Vale Indonesia
“Negosiasi pemerintah Indonesia dengan IRA masih berjalan, tanpa IRA kita kesampingkan dulu, maka kombinasi yang kami bangun dalam implementasi hilirisasi di Indonesia itu adalah proses industrinya dibangun 70 persen nilai tambahnya di Indonesia sisanya kita kirim ke Amerika,” kata dia.
Namun selain diplomasi Indonesia juga harus memperkuat strategi untuk melawan berbagai kebijakan tersebut.
(diy)
Editor : Fuart