JAKARTA - Beijing menaikkan tarif terhadap impor dari Amerika Serikat hingga 125% pada hari Jumat, sebagai balasan atas keputusan Presiden Donald Trump yang meningkatkan bea masuk terhadap barang-barang China, sekaligus meningkatkan ketegangan dalam perang dagang yang mengancam akan mengguncang rantai pasok global.
Tindakan balasan ini memperburuk gejolak ekonomi global yang telah dipicu oleh tarif Trump. Saham-saham AS memang ditutup lebih tinggi setelah minggu yang bergejolak.
Baca juga: Kebijakan Prabowo Picu Kekhawatiran Arus Keluar Dana Orang Kaya Indonesia ke Luar Negeri
Senada dengan itu emas sebagai aset lindung nilai juga mencetak rekor tertinggi selama sesi perdagangan, sementara imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun mengalami kenaikan mingguan terbesar sejak tahun 2001, bersamaan dengan melemahnya dolar AS menandakan menurunnya kepercayaan terhadap perusahaan-perusahaan Amerika.
Sebuah survei terhadap konsumen di AS menunjukkan kekhawatiran inflasi mencapai titik tertinggi sejak 1981, sementara lembaga-lembaga keuangan semakin sering memprediksi risiko resesi yang meningkat.
Trump meremehkan gejolak pasar, dengan memperkirakan dolar akan menguat dan mengatakan bahwa banyak tarif nantinya akan stabil di sekitar angka 10% setelah Amerika Serikat mencapai kesepakatan dagang dengan semua negara yang ingin bernegosiasi.
“Saat orang mengerti apa yang kami lakukan, saya pikir dolar akan naik tajam, pasar obligasi baik-baik saja. Sempat bermasalah sebentar, tapi saya menyelesaikan itu dengan cepat” ujar Trump kepada wartawan di dalam pesawat Air Force One pada Jumat malam.
Gedung Putih menyatakan lebih dari 75 negara telah mengajukan negosiasi, dan kesepakatan di masa depan akan memberikan kepastian.
India dan Jepang termasuk negara besar yang telah maju menuju pembicaraan dagang, namun secara umum para pemimpin asing masih bingung bagaimana harus merespons gangguan terbesar terhadap sistem perdagangan dunia dalam beberapa dekade terakhir.
Kenaikan tarif balasan antara AS dan China diperkirakan akan membuat perdagangan barang antara dua ekonomi terbesar dunia itu menjadi nyaris mustahil, kata para analis. Perdagangan tersebut bernilai lebih dari $650 miliar pada tahun 2024.
“Instruksi Presiden sudah sangat jelas. Saat Amerika Serikat dipukul, ia akan membalas lebih keras,” kata Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, kepada wartawan.
Dolar merosot dan aksi jual obligasi AS, pasar obligasi terbesar di dunia, semakin intensif, sementara harga emas naik.
Dengan melemahnya dolar, aksi jual aset-aset AS paling nyata terlihat pada penurunan harga obligasi Treasury AS tenor 10 tahun.
Penurunan harga ini mendorong imbal hasilnya yang bergerak berlawanan arah dengan harga dan penting dalam menentukan suku bunga hipotek ke level tertinggi dalam dua bulan. Selama sepekan, imbal hasilnya telah naik hampir setengah poin persentase.
“Menteri Keuangan Scott Bessent sedang memantau pasar obligasi dengan cermat,” ujar Leavitt.
Baca juga: Menkeu ASEAN Bahas Perang Dagang Global, Sri Mulyani Tegaskan Indonesia Siap Hadapi Guncangan
Data hari kedua mengenai inflasi di AS menunjukkan tekanan harga belum menyebar secara luas di seluruh perekonomian, meskipun Indeks Harga Produsen (PPI) untuk bulan Maret menunjukkan kenaikan harga logam industri akibat tarif impor terhadap barang seperti baja dan aluminium yang telah berlaku selama sebulan.
“Jika tarif ini tetap diberlakukan, maka akan mendorong inflasi naik signifikan dalam beberapa bulan mendatang,” kata Bill Adams, kepala ekonom di Comerica Bank.
Universitas Michigan menyatakan Indeks Sentimen Konsumen mereka turun ke angka 50,8 bulan ini dari 57,0 di bulan Maret. Para ekonom yang disurvei oleh Reuters sebelumnya memperkirakan indeks ini turun ke angka 54,5.
Berbeda dari survei sebelumnya, survei terbaru ini juga menunjukkan melemahnya kepercayaan di kalangan pendukung Partai Republik, partai asal Trump.
PERANG DAGANG DENGAN CHINA
Pekan ini, Trump mengumumkan jeda tarif selama 90 hari untuk puluhan negara, sembari menaikkan tarif terhadap impor dari China hingga efektif mencapai 145%.
China membalas dengan memberlakukan lebih banyak tarif pada hari Jumat. Kementerian Keuangan China menyebut tarif Trump sebagai “tindakan sepihak yang sepenuhnya merupakan bentuk intimidasi dan pemaksaan.”
Baca juga: Trump Mulai Lunak Soal Perang Dagang, Ingin Segera Capai Kesepakatan dengan China
Beijing mengisyaratkan bahwa ini akan menjadi kali terakhir mereka menyesuaikan kenaikan tarif AS, namun tetap membuka kemungkinan untuk bentuk pembalasan lainnya.
“Jika AS benar-benar ingin mengadakan pembicaraan, mereka harus menghentikan perilaku yang berubah-ubah dan merusak. China tidak akan pernah tunduk pada tekanan maksimum dari AS,” tulis Liu Pengyu, juru bicara Kedutaan Besar China di AS, di media sosialnya.
Para analis UBS dalam sebuah catatan menyebut pernyataan China tersebut sebagai pengakuan bahwa perdagangan antara kedua negara pada dasarnya telah sepenuhnya terputus.
Sebaliknya, Karoline Leavitt memberikan peringatan kepada Beijing: “Jika China terus membalas, itu tidak akan baik bagi China.”
Sebelumnya, pada hari Kamis, Trump mengatakan kepada wartawan bahwa ia yakin AS dapat membuat kesepakatan dengan China dan bahwa ia menghormati Presiden China, Xi Jinping.
Namun pada hari Jumat, Xi menyampaikan komentar publik pertamanya mengenai tarif Trump, dengan mengatakan kepada Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez di Beijing bahwa China dan Uni Eropa harus “secara bersama-sama menentang tindakan sepihak yang bersifat intimidasi.” (red)
Editor : Fudai