SURABAYA | ARTIK.ID - Sidang lanjutan praperadilan antara JE, pendiri sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) lawan Polda Jatim kembali bergulir di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jumat (21/1/22)
Sidang dihari ke-enam ini memasuki agenda pembuktian akhir dengan menghadirkan ahli kriminologi dari Universitas Brawijaya, Prija Djatmika.
Para pihak yang berperkara juga diberi kesempatan oleh hakim tunggal Martin Ginting untuk mengajukan bukti tambahan berikut materi kesimpulan dari seluruh rangkaian fakta persidangan.
Di dalam persidangan, Prija Djatmika menerangkan hal yang tidak jauh berbeda dengan keterangan para ahli sebelumnya, di mana barang bukti yang ada ditangan penyidik dalam menangani suatu perkara pidana akan dinilai oleh hakim sesuai dengan ketentuan KUHAP.
"Keterangan saksi, bukti surat, keterangan ahli, ini petunjuk saja, nanti hakim yang menilai, sesuai pasal 184 KUHAP," terang Djatmika.
Untuk saksi berantai atau lebih dari dua orang, lanjut Djatmika, keterangan yang ia sampaikan haruslah berkesesuaian dengan perkara yang sedang diperiksa oleh penyidik.
"Rangkain saksi-saksi yang mengarah pada perbuatan materiil, tapi apabila saksi-saksi itu tidak berkesesuaian itu tidak masuk dalam kategori alat bukti petunjuk," jelasnya.
Kuasa hukum JE, Jefey Simatupang kemudian mempertanyakan adanya saksi yang disebut sebagai saksi Testimonium De Auditu, atau saksi yang kesaksiannya atau keterangannya hanya mendengar dari perkataan orang lain, bukan mengetahui secara langsung suatu perbuatan tindak pidana.
Djatmika dalam hal ini menegaskan, saksi yang demikian itu berada di luar kategori yang dibenarkan, sebab hukum pidana itu wajib berdasarkan kebenaran yang riil.
"Hukum pidana itu berdasarkan kebenaran materiil, berdasarkan kebenaran yang sebenar-benarnya," katanya.
Pertanyaan Jefry tersebut bukan tanpa alasan, sebab dari 22 orang saksi yang di BAP oleh penyidik dalam perkara dugaan pencabulan di Sekolah SPI adalah saksi yang dikategorikan sebagai saksi Testimonium De Auditu, yaitu saksi yang kesaksiannya atau keterangannya hanya mendengar dari perkataan orang lain.
Diakhir persidangan, Kuasa hukum JE mengajukan beberapa tambahan alat bukti di antaranya bukti tambahan yang diberi nomor P. 46 mengenai berkas tahap 1 penyidikan Polda Jatim yang dikembalikan oleh Kejati Jatim.
Selain itu terdapat juga tambahan bukti P 51 berupa vidio isi wawancara dari kasi Penkum kejaksaan tinggi Jatim mengenai alasan-alasan dikembalikannya berkas atau disebut P-19.
Penyerahan bukti tambahan itu sempat dipersoalkan oleh Bidkum Polda Jatim, namun oleh hakim tetap diterima dengan alasan bahwa persidangan memerlukan bukti sebagai penilaian dalam menjatuhkan putusan nantinya.
Barang bukti yang telah diterima, baik dari pemohon maupun termohon praperadilan kata Ginting, tidak semuanya akan diterima sebagai bukti dalam pertimbangan putusan. Bukti-bukti itu nantinua dapat dinilai atau pun juga dikesampingkan.
"Sebelum persidangan itu ditutup kita tetap terima (penyerahan bukti), karena sidang itu memerlukan bukti," tandas Martin Ginting.
Diketahui dalam perkara ini, JE yang merupakan pendiri Sekolah SPI melayangkan gugatan praperadilan kepada Polda Jatim untuk mentukan status hukumnya yang masih terkatung-katung. JE ditetapkan tersangka oleh Penyidik Polda Jatim atas tuduhan pencabulan terhadap SDS (28) tahun, alumni sekaligus pegawai di yayasan Sekolah SPI Kota Batu.
Pada 16 September 2021, berkas pemeriksaan JE oleh penyidik dilimpahkan kepada Kejaksaan Tinggi Jatim. Akan tetapi, pada 23 September 2021, berkas dikembalikan lagi ke penyidik karena dinyatakan jaksa belum memenuhi pasal sangkaan.
Berkas kedua kembali diterima pihak kejaksaan untuk diteliti pada tanggal 3 Desember 2021, namun setelah diteliti kembali masih ditemukan sejumlah petunjuk yang belum dipenuhi oleh penyidik Ditreskrimum Polda Jatim. Berkas ke dua itu pun dikembalikan kepada penyidik atau di P-19 pada 17 Desember 2021.
(ara)
Editor : Fudai