JAKARTA | ARTIK.ID - Pengamat politik dan aktivis HAM mempertanyakan tujuan Presidential Threshold 20 Persen, dalam Executive Brief yang mengambil tema Masukan Ilmiah-Akademik Terkait Presidential Threshold, Sabtu (8/1/2022) di Jakarta.
Hadir dalam kegiatan itu Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Senator Tamsil Linrung (Sulsel), Habib Abdulrrahman Bahasyim (Kalsel), Bustami Zainuddin (Lampung), Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Togar M Nero, serta Sekretaris Jenderal DPD RI Rahman Hadi.
Baca Juga: Selain Obat Sirup yang Bermasalah, Lanyalla Minta BPOM Periksa Vaksin Imunisasi
Sementara sejumlah pengamat dan ahli yang hadir di antaranya Refly Harun, Prof Chusnul Mar’iyah, Rocky Gerung, Haris Azhar, Bivitri Susanti, Ferry Joko Yuliantono dan Radian Salman.
Aktivis HAM Haris Azhar meninjau Presidential Threshold dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya, partai politik mewakili kepentingan rakyat.
“Tapi faktanya, produknya justru berhadap-hadapan dengan rakyat. Mari kita bawakan laporan yang sudah dilaporkan ke Komnas HAM, Ombudsman, Walhi, Kontras, YLBHI ke MK. Itu bukti bahwa warga terciderai oleh pemerintah dan DPR,” katanya.
Baca Juga:
- Ziarah Makam Pahlawan, Lanyala Ajak Masyarakat Teladani Diponegoro
- Sambut Omicron dengan Skenario Terburuk Agar Pemerintah Tak Gagap
- Tantang Para Koki, DPD PDI Perjuangan Jatim Gelar Festival Kuliner
- Festival Kuliner PDIP di Lenteng Agung Jaksel Diikuti Ratusan Peserta
“Presidential Threshold ini apa, untuk menggolkan presiden saja atau untuk menjaga hak rakyat. Nyatanya 20 persen menciptakan emperium kekuasaan. Ini tentang relasi partai yang gagal memperjuangkan kepentingan rakyat,” tambah Haris.
Aktivis lainnya, Bivitri Susanti menilai open legal policy merupakan konsep yang tak jelas namun seringkali dibuat sebagai wadah ketika MK tak mau membahas apa yang semestinya dibahas.
Baca Juga: Guru PPPK Tak Dapat Gaji Selama 9 Bulan, LaNyalla Ingatkan Pemda
“Yang harus ditekankan, MK belum pernah menjawab secara konstitusional dari 21 perkara yang sudah digugurkannya itu. Pertanyaannya, apakah ambang batas itu bersesuaian dengan pencalonan presiden? Itu belum dijawab. Apakah open legal policy itu melanggar konstitusi atau tidak? Itu juga belum dijawab,” katanya.
Di banyak negara, Bivitri melanjutkan, tak dikenal yang namanya ambang batas pencalonan presiden. Yang dipakai adalah ambang batas keterpilihan.
Baca Juga: Rantai Tangan dan Kaki Keponakan yang Masih 6 Tahun, Pelaku Diringkus Polisi
“Tentu presidential threshold akan membuat diskriminasi. MK keliru kalau menyebut Presidential Threshold akan memperkuat presidensiil. Padahal presidensiil tak membutuhkan seleksi awal untuk pencalonan,” tutur Bivitri.
Baca Juga: Ketua DPD RI Minta TNI Bantu Relawan MER-C yang Tak Bisa Masuk Palestina
Prof Chusnul Mar’iyah berkelakar jika sepertinya MK membutuhkan ahli politik, tak melulu ahli hukum.
“Kita jangan dipaksa-paksa 20 persen. Tujuan kita bernegara apa? Presiden itu kepala negara dan kepala pemerintahan. Melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan. Kalau teori kepartaian, fungsinya kaderisasi. Partai tak ada yang 20 persen. Kok melegalkan 20 persen. Anda mau merentalkan partai atau memaksakan koalisi brutal?” tanya Prof Chusnul.
Prof Chusnul melanjutkan, ditinjau dari hal tersebut, maka fungsi kepartaian telah gagal. “Mestinya dia mengusung kader sendiri,” pungkasnya. (diy)
Editor : Fudai