Sebagai pemimpin sebuah negara baru, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta belum memiliki kantor khusus. Segala urusan pemerintahan dilakukan dari kediaman Bung Karno di Jl Pegangsaan Timur 56,Jakarta. Pelantikan kabinet pertama pimpinan Soekarno-Hatta pada 2 September dilakukan di rumah itu. Usai pelantikan, anggota kabinet yang terdiri dari 18 menteri itu berfoto di beranda rumah.
Kabinet itu pun tidak berumur panjang. Maklumat X, yang diterbitkan Bung Hatta atas persetujuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mengubah struktur pemerintahan itu, dengan alasan agar tak menciptakan kekuasaan absolut. KNIP yang sebelumnya hanya bertugas ‘’membantu presiden” berubah menjadi badan legislatif. Sistem partai tunggal diganti dengan multipartai dengan seorang perdana menteri (PM) yang akan menangani pemerintahan sehari-hari.
Bung Karno tak keberatan. Maka, maklumat yang dikeluarkan 16 Oktober itu berlaku, dengan Sutan Syahrir sebagai PM. Komposisi menteri berubah meskipun sebagian diisi oleh tokoh yang sama. Tak lama kemudian, pada 4 November 1945 lahir maklumat pemerintah yang mendorong pembentukan partai-partai. Dari rumah di Pegangsaan Timur 56, yang menjadi Kantor Presiden RI pertama itu, telah bergulir sekian banyak maklumat terkait pelaksanaan pemerintahan.
Namun, situasi di Jakarta tidak aman untuk pemerintahan baru. Belanda tak mau melepas klaimnya atas penguasaan wilayah Indonesia. Bahkan, Netherlands-Indies Civil Administration (NICA), badan pemerintahan semimiliter bentukan Belanda, sudah masuk Jakarta per 15 September 1945 dengan membonceng serdadu sekutu.
Tentara sekutu datang guna melucuti serdadu Jepang, membebaskan tawanan perang (warga kulit putih), dan menjaga ketertiban rakyat bila di tempat tersebut belum ada pemerintah yang efektif. Namun, pemerintah baru sudah lahir di Indonesia. Ketegangan pun muncul.
Bentrokan antara kelompok pemuda Indonesia dan NICA-pasukan sekutu tak terhindarkan di kota-kota besar. Bahkan, sempat meletus menjadi perang besar, seperti terjadi di Surabaya. Jakarta tidak aman. Teror kepada para pemimpin Indonesia terus terjadi.
Pada November 1945, tokoh KNIP Mohammad Roem tertembak ketika berkendaraan menuju kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur 56. Paha kirinya terluka, namun jiwa tokoh Masyumi itu selamat. PM Syahrir dan Amir pun mengalami serangan yang sama pada 26 dan 28 Desember 1945. Malam hari 1 Januari 1946, Presiden Soekarno mengadakan rapat terbatas tentang pemindahan ibu kota negara. Kota Yogyakarta menjadi salah satu pilihan.
Gayung bersambut. Pada 2 Januari 1946, utusan dari Yogyakarta datang menemui Presiden Soekarno dan menyampaikan pesan dari Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII. Kedua penguasa Yogyakarta itu menyatakan membuka pintu selebar-lebarnya dan mendorong Pemerintah RI hijrah untuk sementara waktu ke Yogyakarta.
Tanpa menunggu lama, selepas senja 3 Januari 1946, satu rangkaian kereta dengan seluruh lampu yang padam berhenti persis di belakang rumah Pegangsaan Timur 56. Bung Karno dan Bung Hatta, masing-masing dengan keluarga kecilnya, diikuti sejumlah tokoh, naik ke gerbong, hanya dengan pengawalan 15 orang pasukan bersenjata. Kereta dengan gerbong-gerbong gelap itu pun bergerak menuju Yogyakarta.
Esok harinya, Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam IX menyambut rombongan presiden di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Ketika itu Yogyakarta daerah aman. Kekuatan militer sekutu dan Jepang sudah pergi dan NICA belum masuk. Presiden Soekarno untuk kali pertamanya mendapat akomodasi yang memadai sebagai kepala negara, yakni Gedung Agung, yang terletak di ujung Malioboro.
Gedung Agung pun resmi menjadi kantor sekaligus kediaman bagi Presiden Soekarno bersama keluarga. Bangunan ini sudah cukup layak bagi seorang kepala negara (baru) untuk memimpin pemerintahan. Gedung bekas kediaman resmi Residen Yogyakarta itu selesai dibangun tahun 1832. Di tempat lain, banyak bangunan serupa dan biasa disebut keresidenan.
Seperti bangunan kolonial lain dari era 1800-an, Gedung Agung itu punya corak arsitektur paladio, dengan ciri pilar-pilar bulat ala kuil Yunani di teras, garis lengkung di pintu atau gapura, dan bentuk bangunan yang serba simetris. Bangunan besar ini berdiri di atas lahan hampir 4 hektare, dilengkapi taman dan bangunan pendukungnya.
Dari Yogyakarta, pelaksanaan administrasi pemerintahan bisa digelar lebih teratur. Sejumlah kementerian beroperasi dari bangunan lain peninggalan Belanda, yang ada di sekitar Malioboro dan Kota Baru. Namun, tekanan politik dan militer NICA tak kunjung berhenti. Bahkan, pada 20 Juli 1945, pasukan NICA menyerang kota-kota republik di Sumatra dan Jawa, yakni di Medan, Padang, Pekanbaru, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Serangan yang disebut sebagai Agresi I itu bertujuan menguasai perkebunan dan pertambangan yang sebelumnya dioperasikan Hindia Belanda. Ibu Kota RI mulai terancam. Kekuatan militar NICA hanya berjarak sekitar 110-120 km saja di front barat dan utara.
Serangan berikutnya (Agresi II) terjadi pada 19 Desember 1948. Yogyakarta diserang dari darat dan hari itu jatuh ke tangan NICA. Para pemimpin republik, mulai dari Bung Karno, M Hatta, Agus Salim, Syahrir, ditangkap dan diasingkan. Sebagian diboyong ke Pangkalpinang dan Muntok, Pulau Bangka, sebagian Parapat dan Brastagi, Toba, di Sumatra Utara. Sempat beberapa hari di Parapat, namun kemudian Bung Karno bersama H Agus Salim dibawa ke Bangka.
Pemerintahan Darurat
Namun, sebelum ditangkap pasukan Belanda, Bung Karno sempat membuat surat kawat ditujukan ke AA Maramis, yang sedang berada India, dan Menteri Perdagangan RI Syafruddin Prawiranegara, yang sedang berada di Bukittinggi, untuk membentuk pemerintahan darurat.
Surat kawat itu sendiri terlambat sampainya. Tapi, Syafruddin Prawiranegara, bersama Gubernur Sumatra TM Hassan, Kolonel Hidayat selaku Komandan TNI Teritorium Sumatra ketika itu, dan sejumlah tokoh lain, berinisiatif membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI). PDRI dideklarasikan pada 22 Desember di Halaban, Payakumbuh, namun kemudian “kantornya” berpindah dari satu nagari ke nagari lainnya demi menghindari serbuan tentara NICA. Dengan modal pemancar radio, Syafruddin terus berpidato bahwa Republik Indonesia masih eksis dan NICA hanya menguasai kota-kota di Indonesia.
Atas desakan dunia internasional, terutama Amerika Serikat, Belanda pun bersedia kembali ke meja perundingan. Memasuki bulan Juni, Belanda yang makin terpojok bersedia melakukan perundingan damai. Presiden Soekarno, Wapres M Hatta, dan para pemimpin dikembalikan ke Yogyakarta, pada 6 Juli 1949. Dan ketika itu, seluruh militer NICA sudah ditarik mundur. Secara resmi, Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat pada 13 Juli 1949. Soekarno-Hatta kembali menjadi pemimpin republik.
Kembali ke Jakarta
Langkah diplomasi berikutnya, melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Hag, membuahkan hasil “penyerahan kedaulatan” 27 Desember 1949. Di Jakarta, prosesi penyerahan kedaulatan itu dilakukan dalam bentuk penandatanganan berita acara antara pihak Indonesia yang diwakili Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota di Jakarta Johannes Lovink.
Pada 28 Desember, Bung Karno mendarat di Bandar Udara Kemayoran dan disambut ribuan massa rakyat. Esok harinya, secara resmi Presiden Soekarno berkantor dan mendiami Istana Kepala Negara, kompleks bangunan yang terdiri dari Istana Merdeka, Istana Negara, dan bangunan lainnya.
Istana Tujuh Presiden
Presiden Soekarno menghuni kompleks Istana itu sampai Juli 1967. Ketika itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) telah mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden RI. Di tahun berikutnya, Pak Harto resmi dikukuhkan sebagai presiden. Sejarah pun mencatat, Pak Harto menjadi penguasa di Istana Kepresidenan sampai 1998.
Selama 32 tahun berkuasa, Pak Harto memilih tinggal di luar istana, yakni di kediaman pribadinya di Jl Cendana, Jakarta. Ia hanya berkantor di istana. Sejak 1973, Pak Harto menempati bangunan baru, yang disebut Binagraha, masih di dalam kompleks istana, sebagai kantor pemerintahannya.
Ketika tampil menggantikan Pak Harto, Presiden BJ Habibie (1998-1999) memilih menggunakan Istana Merdeka sebagai tempat kerjanya. Ruang kerjanya adalah bekas ruang kerja Bung Karno. Namun, untuk kediaman, ia memilih rumah pribadinya di daerah Mega Kuningan.
Istana Merdeka kembali dijadikan tempat kerja dan kediaman pribadi oleh Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid. Presiden yang juga dikenal dengan nama Gus Dur itu menggunakan ruang kerja yang sama dengan Bung Karno dan Prof BJ. Habibie, hingga akhir masa jabatannya (2001).
Berbeda halnya dengan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri. Megawati merenovasi Gedung Museum Puri Bhakti Renatama-- dibangun Pak Harto guna menampung barang-barang suvenir-- untuk ruang kerjanya sesuai dengan abad 21. Ada ruang kerja presiden, ruang menerima tamu, aula untuk sidang kabinet, dan ruang untuk konferensi pers. Seluruhnya dilengkapi dengan wifi dan cyber optic untuk menjadikannya memenuhi syarat sebagai gedung pintar.
Maka, dalam ruang rapat kabinet itu tersedia layar lebar yang bisa diset ke berbagai ukuran. Setiap kursi punya akses intranet, internet, dan sumber daya listrik. Ukuran ruang sidang disesuaikan agar bisa menampung seluruh menteri plus sekian lembaga. Setiap kali kelengkapannya terus di-update, termasuk segala piranti pengamanannya.
Presiden Megawati yang pertama berkantor di gedung pintar ini. Namun, Presiden Megawati tidak pernah menginap di istana. Ia memilih tetap tinggal di kediamannya di Jl Teuku Umar, Jakarta.
Gedung itu juga yang digunakan oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Tak pelak lagi, bangunan inilah yang kini sering disebut Kantor Presiden RI.
Selama 10 tahun menjabat, Presiden SBY juga mendiami istana sebagai kediaman resmi. Sebagian Istana Merdeka menjadi hunian keluarganya. Bila anak-menantu dan cucu datang berkunjung, Pak SBY bergeser ke Wisma Negara, gedung 6 lantai yang dibangun pada era Bung Karno untuk tamu negara. Di sana, ada sebagian ruang yang dimanfaatkan untuk ruang keluarga Presiden SBY.
Presiden Joko Widodo lain pula pilihannya. Selain menggunakan Kantor Kepresidenan, yang berada di antara Istana Merdeka dan Istana Negara, ia juga menggunakan ruang kerja di Istana Bogor, yang sekaligus sebagai kediaman resminya. Pada hari-hari tertentu, bila tak ada acara khusus di Jakarta, Presiden Jokowi berkantor di ruangan yang menghadap ke kehijauan Kebon Raya Bogor itu.
Editor : Fudai