SURABAYA — Di tengah gencarnya kampanye pendidikan gratis, seorang siswi SMA di Surabaya justru terancam masa depannya karena ijazah aslinya ditahan sekolah.
Aini (nama samaran), warga Dupak Masigit Gang 11, Kelurahan Jepara, Kecamatan Bubutan, Surabaya, tak bisa mengambil ijazah asli meski sudah dinyatakan lulus dari SMA Tanwir Surabaya. Penyebabnya? Tunggakan biaya sekolah sebesar Rp 3,1 juta yang belum bisa dilunasi.
Baca juga: Duka di Sungai Jagir, Potret Buram Keadilan Sosial di Surabaya
Kisah Aini ini pun mengetuk nurani publik dan mendapat perhatian serius dari anggota DPRD Surabaya, Azhar Kahfi. Politisi muda dari Partai Gerindra itu turun langsung melakukan mediasi ke sekolah pada Senin dan Selasa (15-16/09).
Pada kunjungan pertama, suasana sekolah sepi. Hanya ada satu tenaga pendidik laki-laki yang mengaku tak tahu menahu soal kasus tersebut. Ia juga menyampaikan bahwa keputusan soal ijazah ada di tangan kepala sekolah.
Keesokan harinya, Azhar kembali dan berhasil menemui Kepala Sekolah SMA Tanwir Surabaya, Ibu Yuni. Dalam pertemuan tersebut, kepala sekolah menegaskan bahwa ijazah asli tak bisa diberikan sebelum tunggakan dilunasi.
"Kami hanya bisa memberikan fotokopi ijazah yang dilegalisir. Ijazah asli baru akan diberikan setelah pembayaran lunas," ujar Bu Yuni tegas.
Penahanan ijazah ini jelas menghambat langkah Aini. Tanpa ijazah asli, ia kesulitan melamar kerja maupun melanjutkan kuliah. Fotokopi legalisir tidak cukup untuk memenuhi banyak persyaratan administrasi pendidikan maupun ketenagakerjaan.
Padahal, regulasi dari Kementerian Pendidikan jelas menyatakan bahwa penahanan ijazah karena alasan tunggakan dilarang keras.
Azhar Kahfi mengingatkan bahwa ada sejumlah regulasi yang secara tegas melarang penahanan ijazah:
Permendikbud No. 58 Tahun 2024
Peraturan Sekjen Kemendikbudristek No. 1 Tahun 2022
Baca juga: Aset Jadi Asetil! SIGenDiS Jadi Role Model Digitalisasi Gedung Pemkot Surabaya
Permendikbud No. 5 Tahun 2021 (tentang penggunaan dana BOS)
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
“Sekolah swasta tetap tidak berhak menjadikan ijazah sebagai jaminan tunggakan. Ini soal hak siswa, bukan soal iuran,” tegas Kahfi
Kahfi menyebut, Aini bukan satu-satunya korban praktik penahanan ijazah di Surabaya. Saat masa reses, ia menerima banyak laporan serupa dari warga.
“Ini cermin bahwa implementasi pendidikan gratis belum maksimal di lapangan. Kasus seperti ini harus dihentikan,” geramnya.
Legislator dari Fraksi Gerindra DPRD Surabaya itu berencana membawa isu ini ke sidang paripurna DPRD untuk mendorong pengawasan lebih ketat terhadap sekolah-sekolah yang masih menahan ijazah siswa.
Baca juga: Surat Edaran Sekda Surabaya Tidak Populis, Kebiri Hak Adminduk Warga
Meski bantuan dari BAZNAS untuk tebus ijazah tidak tersedia lagi, Pemkot Surabaya menyediakan beberapa opsi lain seperti:Beasiswa Pemuda Tangguh, KIP (Kartu Indonesia Pintar)
“Saya pribadi siap menjadi orang tua asuh bagi siswa-siswi yang masih kesulitan tebus ijazah,” tutur kahfi.
Data BPS Jatim 2023 menunjukkan 4,2% warga Surabaya atau sekitar 122.400 jiwa masih hidup dalam kemiskinan. Akses pendidikan yang layak, termasuk hak atas ijazah, seharusnya tidak dibatasi oleh kondisi ekonomi.
Kasus Aini adalah peringatan nyata bahwa masih ada celah besar dalam sistem pendidikan kita. Kolaborasi antara DPRD, Dinas Pendidikan, sekolah, dan pemerintah daerah sangat dibutuhkan agar tidak ada lagi siswa yang masa depannya terkunci hanya karena tak mampu membayar.
“Ini bukan sekadar soal uang, ini soal keadilan dalam pendidikan, Hak atas pendidikan adalah hak semua anak bangsa bukan hak yang bisa dibeli,” pungkas Kahfi. (Rda)
Editor : rudi