AS Larang Ekspor Chip, Kenapa RI Tak boleh Larang Ekspor Nikel Mentah? Terlalu!

avatar Artik
Bahlil Lahadalia
Bahlil Lahadalia

JAKARTA | ARTIK.ID - Salah satu isu yang menarik perhatian publik dalam sebulan ini adalah mengenai permintaan IMF agar pemerintah Indonesia menghapus larangan ekspor nikel.

IMF, lewat laporan bertajuk IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia, meminta pemerintah untuk mempertimbangkan penghapusan larangan ekspor komoditas secara bertahap, dan cost-benefit dari kebijakan ini perlu dilakukan secara berkala.

Baca Juga: Waskita Karya Suntik Modal Rp178,62 Miliar ke PT Trans Jabar Tol

Kenapa IMF begitu peduli dengan kebijakan ini? Apa dampaknya bagi perekonomian Indonesia?

Larangan ekspor nikel adalah bagian dari strategi pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah industri pertambangan di dalam negeri.

Dengan melarang ekspor nikel mentah, pemerintah berharap bisa mendorong pembangunan smelter dan pabrik baterai yang bisa memanfaatkan nikel sebagai bahan baku.

Hal ini dianggap penting untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor barang-barang manufaktur, terutama di sektor otomotif dan elektronik.

Namun, IMF menilai bahwa larangan ekspor nikel justru berpotensi merugikan Indonesia. Menurut IMF, larangan ini akan mengurangi pendapatan negara dari sektor pertambangan, menimbulkan distorsi pasar, dan meningkatkan risiko korupsi.

IMF juga mengkhawatirkan dampak lingkungan dari pembangunan smelter dan pabrik baterai yang belum tentu memenuhi standar yang baik.

Baca Juga: Ikut Campur Hilirisasi Indonesia, IMF Ungkit Hutang RI yang Sudah Lunas 2006

Tentu hal itu dibantah oleh Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, dia mengungkapkan dasar alasan IMF tidak masuk akal.

"Saya mengerti maksud IMF yang meminta kita untuk tetap mengekspor agar harga bahan baku dunia tidak melonjak, kira-kira begitu, lalu apa urusannya sama kita? Itu urusan dia kan," ujar Bahlil saat ditemui awak media di Jakarta pekan lalu.

"Perlu diketahui kita sudah tidak punya hutang ke IMF, sudah lunas semua di masa Pak SBY, kita harus berterimakasih pada Pak SBY," imbuhnya

Sebaliknya Bahlil mengatakan, jika ekspor komoditas terus dilakukan, maka akan ada jutaan bahan baku yang dikirim ke luar negeri tanpa memerhatikan pengelolaan lingkungan. Selain itu, lapangan kerja dan nilai tambah dari komoditas juga akan hilang.

Baca Juga: Tingkatkan Nilai Tambah, MIND ID Ingin Kuasai Saham Mayoritas PT Vale Indonesia

Padahal, sejumlah negara juga melakukan larangan ekspor demi kepentingan nasionalnya. Amerika Serikat, misalnya, yang membatasi ekspor cip semikonduktor.

Situasi ini akhirnya membuat Bahlil menuding IMF menerapkan standar ganda. Musababnya, pada saat yang sama, IMF mendukung tujuan hilirisasi untuk mendorong transformasi struktural tetapi menentang kebijakan larangan ekspor yang dijalankan Indonesia.

(ara)

Editor : Fuart