Batik Singosari: Harmoni Warisan Budaya dan Inovasi Ramah Lingkungan dari Malang

MALANG | Batik bukan sekadar kain bermotif indah, melainkan simbol peradaban dan jati diri bangsa Indonesia. Di setiap helai batik, tersimpan filosofi, sejarah, dan nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap daerah memiliki corak dan makna tersendiri, menjadikan batik sebagai cerminan kekayaan budaya nusantara yang patut dibanggakan dan dilestarikan.

 

Namun dibalik keelokan dan makna filosofisnya, industri batik juga menghadapi tantangan besar terutama dari sisi lingkungan. Proses produksi batik yang menggunakan pewarna kimia berpotensi mencemari air dan tanah, bahkan mengganggu kesehatan masyarakat sekitar apabila limbahnya tidak dikelola dengan baik. Di sinilah muncul kebutuhan mendesak untuk mengembangkan batik yang tidak hanya indah dan bernilai budaya, tetapi juga ramah terhadap alam.

 

Berangkat dari kepedulian tersebut, Universitas Wisnuwardhana (Unidha) Malang melalui Tim Dosen Pengabdian kepada Masyarakat berinisiatif menjembatani pelestarian budaya dengan inovasi teknologi ramah lingkungan. Tim yang terdiri dari Mohammad Dullah (dosen Manajemen), Nurfa Anisa (dosen Teknik Industri), dan Juli Rahaju (dosen Agroteknologi) ini menggandeng Komunitas Batik Singosari, Kabupaten Malang, dalam sebuah program pemberdayaan bertema “Batik sebagai Warisan Budaya dan Inovasi Ramah Lingkungan.”

Program ini juga mendapatkan dukungan dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek).

 

Dalam kegiatan tersebut, tim pengabdian memperkenalkan teknologi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sederhana sebagai solusi pengolahan limbah cair hasil produksi batik. Dengan sistem ini, limbah yang sebelumnya berpotensi mencemari lingkungan kini dapat diolah agar aman sebelum dibuang ke alam. Langkah ini menjadi wujud nyata komitmen akademisi dan pengrajin untuk menjaga keseimbangan antara pelestarian budaya dan keberlanjutan lingkungan.

 

Tak berhenti di situ, tim juga memberikan pelatihan pembuatan pewarna alami berbasis buah, daun, dan tumbuhan lokal. Bahan-bahan seperti kulit manggis, daun jati, kunyit, dan biji kesumba dikembangkan sebagai alternatif pengganti pewarna sintetis. Pewarna alami ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga menghasilkan warna lembut dan khas yang menjadi nilai tambah bagi Batik Singosari.

 

Selain pendampingan teknis, kegiatan ini juga melibatkan mahasiswa Universitas Wisnuwardhana dalam upaya promosi digital. Melalui Live TikTok FEB Unidha Malang, mahasiswa berperan aktif memperkenalkan Batik Singosari kepada masyarakat luas sebagai produk budaya inovatif yang berpadu dengan prinsip keberlanjutan. Langkah ini sejalan dengan semangat Merdeka Belajar–Kampus Merdeka yang mendorong kolaborasi antara dunia pendidikan dan masyarakat.

 

“Melalui kegiatan ini, kami ingin menegaskan bahwa pelestarian budaya tidak boleh merusak lingkungan. Justru, dengan pendekatan ilmiah dan kolaboratif, batik bisa menjadi contoh bagaimana tradisi dan teknologi berjalan berdampingan,” ujar Mohammad Dullah, salah satu dosen penggagas program.

 

Bagi para pengrajin Batik Singosari, dukungan dari dunia akademik ini menjadi angin segar. Mereka tidak hanya memperoleh pengetahuan baru, tetapi juga dorongan untuk berinovasi tanpa kehilangan akar budaya yang telah lama dijaga. Kini, Batik Singosari tampil sebagai representasi nyata dari warisan budaya yang lestari, berdaya saing, dan ramah lingkungan.

 

Batik Singosari membuktikan bahwa ketika tradisi dipadukan dengan inovasi, hasilnya bukan sekadar kain bermotif indah, melainkan pesan harmoni antara manusia, budaya, dan alam. (*)

 

Editor : Fudai