Kedudukan Desa Adat di Bali Pasca Pemberlakuan UU No 15 Tahun 2023 dan Perda No 4 Tahun 2019

DENPASAR | ARTIK.ID - Ngakan Putu Sudibya, ST yang juga Bendesa Adat Suwat , membuka acara diskusi dengan kebanggaan dan kebahagiaan karena mendapat kesempatan menjadi moderator dalam acara penting ini. Desa Suwat, yang terletak di bagian utara Bali, merupakan salah satu dari 1.497 desa adat yang tersebar di seluruh Bali, yang terus menunjukkan perkembangan positif. Berbagai pihak, termasuk pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat, telah berperan besar dalam memperkuat desa adat, terutama setelah dikeluarkannya UU No. 15 Tahun 2023 dan Perda No. 4 Tahun 2019.

Dalam acara Diskusi ini, menghadirkan pembicara-pembicara hebat yang sudah terkenal dan terbiasa membahas desa adat. Mereka adalah:

Baca Juga: Kejujuran, Transparansi Membawa LPD Desa Adat Selat Menuju Pertumbuhan Positif, Aset Capai Rp 32,1 M

1. Prof. Dr. I Made Ariel Utama, pakar hukum dari Universitas Udayana, yang akan menjelaskan eksistensi UU No. 15 Tahun 2023 dan Perda No. 4 Tahun 2019.
2. I Gusti Agung Kartika Jaya Seputra, Kadis Pemajuan Masyarakat Adat, yang sering berhubungan dengan desa adat dalam berbagai persoalan.
3. Dayu Erawati, S.H., M.H., penyuluh hukum dari Kementerian Hukum dan HAM Bali.
4. Dr. I Dewa Rai Semaraputra, seorang tokoh dari Gianyar yang aktif memberikan penyuluhan di desa adat.

Eksistensi UU No. 15 Tahun 2023 dan Perda No. 4 Tahun 2019

Profesor I Made Ariel Utama menjelaskan bahwa UU No. 15 Tahun 2023 lahir untuk memperkuat kedudukan desa adat di Bali, yang sebelumnya telah diatur oleh Perda No. 4 Tahun 2019. Kedua regulasi ini tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. Perda No. 4 Tahun 2019 lahir lebih awal pada 28 Mei 2019, sedangkan UU No. 15 Tahun 2023 diundangkan pada 4 Mei 2023. Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2023 memberikan pengakuan dan pengukuhan terhadap keberadaan desa adat yang sudah diatur dalam Perda No. 4 Tahun 2019. Hal ini menunjukkan adanya sinergi antara hukum adat dan hukum negara dalam menjaga dan mengembangkan desa adat di Bali.

Pandangan dari Kementerian Hukum dan HAM

Baca Juga: Koperasi Konsumen Tani Usaha Mandiri Kabupaten Tabanan Raih Juara 2 pada Puncak Harkopnas ke-77

Dayu Erawati, S.H., M.H., menyampaikan bahwa lahirnya UU No. 15 Tahun 2023 memberikan pengakuan lebih kuat terhadap desa adat di Bali. Kementerian Hukum dan HAM sangat berbangga dengan regulasi ini karena mampu mengakomodir kearifan lokal Bali, termasuk filosofi Tri Hita Karana dan Sad Kerthi yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Bali. Kementerian Hukum dan HAM juga memiliki program POSYANGUMAMDES untuk membantu masyarakat dalam pelayanan pos dan HAM di desa adat. Hal ini menunjukkan sinergi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah dalam memperkuat desa adat.

Peran Pemerintah Provinsi Bali

I Gusti Agung Kartika Jaya Seputra menjelaskan bahwa desa adat merupakan warisan leluhur yang harus dijaga dan diperkuat. Pemerintah Provinsi Bali telah melakukan berbagai langkah untuk mendukung desa adat, termasuk mengalokasikan anggaran dari APBD dan membentuk dinas khusus untuk pemajuan masyarakat adat. Perda No. 4 Tahun 2019 memberikan kedudukan hukum yang jelas bagi desa adat sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan subyek hukum lainnya. Hal ini memungkinkan desa adat untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Baca Juga: Camat Kuta Utara Dorong Pemberdayaan UMKM Lokal Fokus pada Kesejahteraan Lansia dengan Minyak Sari Herbal

Kesimpulan

Diskusi ini menunjukkan bahwa pemberlakuan UU No. 15 Tahun 2023 dan Perda No. 4 Tahun 2019 telah memperkuat kedudukan desa adat di Bali. Sinergi antara hukum adat dan hukum negara, serta dukungan dari berbagai pihak, memastikan bahwa desa adat di Bali tetap menjadi benteng kearifan lokal yang kuat dan kokoh. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat adat terus bekerja sama untuk menjaga dan mengembangkan desa adat demi kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Bali.(*)

Editor : LANI