Airlangga Menilai Kebijakan Deforestasi EU Membunuh Petani Kecil

Artik
Foto: Facebook @Airlangga Hartarto

JAKARTA | ARTIK.ID - Kebijakan baru Uni Eropa (EU) terkait deforestasi global mendapat penolakan keras dari Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, yang menilai kebijakan tersebut merugikan negara-negara produsen sawit dan komoditas lainnya, terutama para petani kecil.

Airlangga menyampaikan protesnya saat berkunjung ke markas EU di Brussels, Belgia, bersama Deputi Perdana Menteri Malaysia, Fadillah Yusof, pada Kamis (1/6/2023).

Baca juga: Di Jakarta, Bank Dunia Soroti Stabilitas Ekonomi dan Ambisi Besar Indonesia

Apa itu Kebijakan Deforestasi EU?

Kebijakan deforestasi EU atau EU Deforestation Regulation (EUDR) adalah sebuah peraturan yang ditujukan untuk mencegah impor komoditas yang berkontribusi terhadap deforestasi atau penggundulan hutan di seluruh dunia.

Peraturan ini akan mulai berlaku pada tahun 2024 dan akan melarang impor komoditas seperti kedelai, kopi, kakao, karet, dan minyak sawit, jika berasal dari lahan yang mengalami deforestasi setelah tahun 2023.

Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk melindungi lingkungan dan iklim dari dampak negatif deforestasi, yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, emisi gas rumah kaca, dan kerusakan ekosistem.

EU juga berharap kebijakan ini dapat mendorong negara-negara produsen komoditas untuk meningkatkan praktik-praktik berkelanjutan dan transparan dalam sektor pertanian dan kehutanan.

Mengapa Airlangga Menolak Kebijakan Ini?

Airlangga menilai bahwa kebijakan deforestasi EU tidak adil dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas, berkeadilan, dan memihak pada kesejahteraan rakyat.

"Undang-undang ini pro bisnis, pro korporasi multinasional, pro konglomerat, tapi tidak pro-rakyat, Ini bukan untuk petani kecil" tegas Airlangga Hartarto, Kamis (01/06/2023)

Menurutnya, kebijakan ini akan sangat merugikan Indonesia sebagai negara pemasok minyak sawit terbesar di dunia, yang memiliki nilai ekspor mencapai miliaran euro per tahun.

Baca juga: Kata Airlangga Hartarto, Masyarakat Tidak Perlu Takut Memanfaatkan Teknologi AI

Selain itu, kebijakan ini juga akan berdampak buruk bagi sektor pertanian dan kehutanan lainnya di Indonesia, yang menyediakan lapangan kerja dan penghasilan bagi jutaan petani kecil.

Airlangga mengkritik mekanisme pengawasan yang digunakan oleh EU untuk menentukan apakah suatu komoditas berasal dari lahan yang bebas deforestasi atau tidak.

Mekanisme tersebut menggunakan sistem geolokasi atau pemetaan satelit untuk melacak asal-usul komoditas dari tingkat petani hingga pabrik pengolahan.

"Indonesia dan Malaysia, yang bersama-sama menyumbang sekitar 80 persen dari produksi minyak sawit dunia, menilai ini tidak adil dan menghukum petani kecil," kata Airlangga.

Airlangga menilai bahwa sistem ini tidak relevan untuk sejumlah komoditas, terutama minyak sawit yang seringkali berasal dari perkebunan campuran atau plasma yang tersebar di berbagai wilayah.

Selain itu, sistem ini juga menimbulkan masalah keamanan data dan privasi bagi negara-negara produsen.

Baca juga: Indonesia Alihkan Ekspor Sawit ke Afrika, Asia Tengah dan Eropa Timur

Airlangga juga menantang otoritas EU untuk menjadi lembaga pemeringkat atau penilai risiko deforestasi bagi negara-negara mitra dagangnya.

Ia mengatakan bahwa hal ini akan menimbulkan risiko reputasi dan diskriminasi bagi negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, yang telah berupaya keras untuk mengimplementasikan standar-standar berkelanjutan dalam industri sawit dan komoditas lainnya.

Ia mencontohkan bahwa Indonesia telah memiliki skema sertifikasi minyak sawit berkelanjutan nasional (ISPO) yang diakui oleh berbagai negara dan organisasi internasional.

(diy)

 

Editor : Fuart

Peristiwa
10 Berita Teratas Pekan Ini
Berita Terbaru