SURABAYA - Ribuan massa buruh yang tergabung dalam Gasper Jatim dan Kobar (Komite Bersama Rakyat), berbondong-bondong mendatangi Gedung Grahadi, di Jl. Gubernur Suryo, Embong Kaliasin, Kec. Genteng, Kota Surabaya, Selasa (30/11/2021).
Adapun massa yang tergabung dalam satu front tersebut yakni SPLEM, Kasbi, KPBI, Lamri, GMNI, Buruh Tani, Nelayan dan Kaum Miskin Kota.
Baca juga: Tak Puas dengan Putusan Gubernur, Ratusan Buruh Kembali Banjiri Grahadi Surabaya
Ditemui disela-sela aksi demonstrasi, Ketua DPC SPLEM Mojokerto, Iswantoro kepada reporter artik.id mengatakan, jika demo kali ini adalah lanjutan dari aksi demonstrasi buruh sebelumnya untuk menyikapi tindakan pemerintah yang masih memakai PP 36 sebagai landasan pengupahan terhadap kaum buruh.
Menurutnya PP 36 menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), untuk mengetahui kesejahteraan secara Nasional, sedangkan buburuh mepunyai standar sendiri yakni Kebutuhan Hidup Layak (KHL),
"Karena sudah diputuskan MK kita kembali berupaya pakai PP 78, yaitu berdasar pada pertumbuhan ekonomi plus inflasi," ujar Iswantoro.
Dikatakan Iswantoro bahwa massa yang terkumpu dari seluruh Jawa Timur saat ini sekitar 10 ribu.
Baca juga: Aksi Buruh di Grahadi Akhirnya Dapat Tanggapan Positif dari Gubernur
Ditanya bila tuntutan buruh tidak dipenuhi Iswantoro mengungkapkan bahwa pihaknya tetap akan terus melakukan aksi yang lebih besar, sembari juga melakukan upaya-upaya hukum terkait masalah putusan MK.
"Jila pemerintah tetap memakai ukuran susenas dalam menetapkan upah buruh maka dampak kerugiannya terhadap buruh sangat besar, kita sudah simulasikan itu, kita baru akan mencapai kenaikan upah cukup lama, yakni sekitar 15 hingga 20 tahun lagi," imbuh Iswantoro.
Lebih lanjut Iswantoro berujar bahwa setiap tahun inflasi selalu naik yang berakibat pada kebutuhan yang ikut naik.
Baca juga: Datangi Balai Kota Surabaya, Buruh Ancam Lakukan Demo Lebih Besar
Jika pemerintah tetap bersikukuh mempertahankan keputusannya saat ini, Iswantoro menilai buruh akan tergilas oleh inflasi, saat daya beli terus turun maka sebenarnya pemerintah juga akan merasakan dampak yang tidak menguntungkan.
"Jadi kami merasa alasan pemerintah ini cenderung mengada-ada, menekan upah buruh itu katanya untuk mengurangi disparitas, tapi nyatanya yang tahun kemarin justru malah meningkatkan disparitas," pungkas Iswantoro. (diy)
Editor : Fuart