SURABAYA – Kasus yang menimpa Nenek Elina tidak sekadar menjadi persoalan hukum atau sosial semata. Peristiwa ini menjelma menjadi cermin yang memantulkan wajah kepemimpinan publik di kota Surabaya, sekaligus membuka ruang diskusi tentang sensitivitas, empati, dan kehati-hatian pejabat publik dalam merespons isu yang rentan memicu konflik horizontal.
Sorotan publik menguat setelah Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, mengangkat kasus tersebut melalui konten di media sosial. Langkah ini sontak menarik perhatian luas, namun juga menuai kritik.
Baca juga: Agus Mashuri Maknai Sumpah Arek Suroboyo, Wujud Persatuan Dan Keadilan Yang Beradab
Di ruang digital yang serba cepat dan emosional, narasi yang dibangun justru berkembang menjadi framing yang menyudutkan kelompok tertentu.
Alih-alih meredakan ketegangan, respons warganet kian liar dan memperkeruh suasana, memperlihatkan betapa rapuhnya harmoni sosial ketika isu sensitif tidak dikelola secara arif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial, meski efektif sebagai sarana komunikasi publik, juga memiliki daya rusak ketika pesan yang disampaikan tidak dibingkai dengan kehati-hatian.
Masyarakat pun menilai, pejabat publik semestinya tampil sebagai penenang, bukan justru menjadi pemantik kegaduhan baru di dunia maya.
Berbeda dengan pendekatan tersebut, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi memilih jalur yang lebih simbolik dan persuasif. Ia mendeklarasikan Sumpah Arek Suroboyo sebagai upaya meneguhkan kembali nilai persatuan, solidaritas, dan semangat hidup rukun di tengah keberagaman suku, adat, dan budaya yang menjadi wajah asli Surabaya.
Baca juga: Abdul Malik Dorong Wisata Surabaya Jadi Alternatif Aman di Tengah Cuaca Ekstrem
Langkah ini dipandang sebagai ikhtiar moral untuk meredam potensi konflik dan mengajak warga kembali pada jati diri Surabaya yang inklusif dan toleran.
Namun, perbedaan pendekatan antara dua pucuk pimpinan Kota Surabaya ini memunculkan pertanyaan serius di tengah masyarakat. Banyak warga menilai, sinergi kepemimpinan adalah kunci utama dalam menghadapi persoalan sosial yang kompleks.
Ketika pesan dan sikap yang ditampilkan ke publik tidak sejalan, kebingungan pun tak terelakkan, bahkan berpotensi memperlemah kepercayaan publik terhadap pemerintah kota Surabaya.
Kasus Nenek Elina pada akhirnya menjadi lebih dari sekadar sebuah peristiwa. Ia menjelma menjadi ujian kepemimpinan, ujian komunikasi publik, sekaligus ujian komitmen dalam menjaga persatuan di Kota Pahlawan.
Baca juga: Lewat Doa Lintas Agama, Ajeng Wira Wati Ajak Warga Surabaya Awali 2026 Dengan Doa dan Solidaritas
Warga Surabaya berharap, perbedaan gaya dan cara pandang tidak menjelma menjadi disharmoni kebijakan, melainkan dapat disatukan dalam satu tujuan besar,
melindungi masyarakat, merawat keberagaman, dan memastikan Surabaya tetap berdiri sebagai rumah bersama yang aman bagi seluruh warganya.
Opini ** Rakyat
Editor : rudi