Tenda Hajatan Dilarang Pemkot, Seketika Kearifan Lokal dan Toleransi Pudar

Reporter : rudi
Ketua Komisi A DPRD Surabaya Cak YeBe (Doc.rudy)

SURABAYA – Rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya membatasi penggunaan tenda hajatan yang menutup jalan kampung menuai sorotan dari Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko.

Legislator yang akrab disapa Cak Yebe itu mengingatkan agar Pemkot tidak tergesa-gesa membuat aturan tanpa mempertimbangkan kearifan lokal dan Toleransi yang selama ini sudah mengakar di masyarakat seketika akan pudar. 

Baca juga: Awas!! APBD 2026 Kota Surabaya Siapkan 47 Miliar, Cetak Generasi Z Mandiri Dan Tangguh

“Tidak perlu buru-buru menyikapi keluhan sebagian warga. Kalau betul-betul akan dilarang, Pemkot Surabaya harus memberikan solusi,” tutur Cak Yebe, Minggu (26/10).

 

Politisi Partai Gerindra itu menilai, sejak dulu masyarakat Surabaya hidup dengan semangat tepo seliro dan tenggang rasa. Tradisi menutup sebagian jalan kampung untuk acara seperti pernikahan, khitan, syukuran keluarga, hingga kedukaan sudah menjadi bagian dari budaya sosial warga kota.

“Mulai nikahan, khitan, kumpul keluarga besar, atau kedukaan , selama ini warga mendirikan tenda itu lazimnya sudah izin RT/RW dan tetangga kanan kiri. Warga memaklumi,” jelasnya.

 

Menurut Cak Yebe, tidak semua acara hajatan perlu izin berlapis hingga ke tingkat kepolisian. Ia menilai Pemkot perlu membuat klasifikasi yang jelas agar tidak semua kegiatan masyarakat dianggap mengganggu.

“Klasifikasikan dulu hajatan yang dianggap berpotensi mengganggu kenyamanan pengguna jalan dan masyarakat, jangan digeneralisir,” tegasnya.

 

Ia mencontohkan, tenda kecil dengan panjang hanya satu hingga tiga unit (sekitar 12 meter) seharusnya tidak menjadi masalah. Namun jika panjang tenda melebihi 18 meter, barulah perlu ada mekanisme izin tambahan.

Baca juga: Komisi A DPRD Surabaya Dorong Satpol PP Tingkatkan Kinerja Penegakan Perda

“Kalau tiga tenda ukuran 12 meter panjang per tenda empat meter itu tidak ngaruh sama sekali. Yang berpotensi masalah itu yang lebih dari 18 meter panjangnya,” ungkapnya.

 

Lebih lanjut, Cak Yebe menjelaskan, pemasangan tenda hajatan umumnya bersifat sementara. Untuk acara pernikahan, tenda biasanya hanya berdiri dua hingga tiga hari, sementara untuk tenda duka bisa sedikit lebih lama.

“Biasanya pemasangan tenda paling lama mulai H-2 dan dibongkar H+1. Kalau tenda duka bisa sampai H+7, tapi warga memahami,” ujarnya.

 

Baca juga: Beasiswa Timpang, Masyarakat Bisa Resah. DPRD Surabaya Minta Evaluasi Skema Pendidikan

Ia menegaskan, aturan yang akan dibuat Pemkot sebaiknya tetap berpijak pada rasa keadilan dan menyesuaikan skala acara. Hajatan kampung berskala kecil cukup dengan izin RT/RW dan konfirmasi ke Lurah, sementara acara besar yang melibatkan banyak tamu bisa disertai izin kepolisian untuk keramaian.

“Tenda hajatan yang hanya menutup jalan sehari, sebaiknya semua bisa memaklumi. Budaya saling menghargai antartetangga di Surabaya itu tinggi,” terang Cak Yebe.

 

Politisi yang dikenal dekat dengan warga ini juga mengingatkan bahwa tidak semua masyarakat memiliki kemampuan ekonomi untuk menyewa gedung atau ballroom hotel. Karena itu, ia berharap aturan baru nantinya tidak menyalahi jati diri kampung Surabaya yang rukun, guyub, dan penuh toleransi.

“Saya sering melewati jalan kampung yang ditutup karena hajatan, dan saya memaklumi. Fenomena ini sudah jamak. Sebaiknya tidak perlu disikapi berlebihan yang penting saling memahami dan tepo seliro. Begitu juga tuan rumah hajatan, jangan bersikap semaunya sendiri, harus pikirkan hak pengguna jalan,” pungkas Cak Yebe. (Rda) 

Editor : rudi

Peristiwa
10 Berita Teratas Pekan Ini
Berita Terbaru