SURABAYA – Wakil Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Aning Rahmawati, menegaskan bahwa penegakan sanksi dalam Perda No. 5 Tahun 2014 dan Perwali No. 10 Tahun 2017 terkait pengelolaan sampah harus dilakukan secara tegas, namun tidak bisa "ujug-ujug" atau tiba-tiba tanpa kesiapan.
"Perda itu harus ditegakkan, tapi untuk menegakkan itu, Pemerintah Kota juga harus clear and clean dalam pengawasan," tutur Aning pada Warta Artik.id Senin (11/08).
Baca juga: Aning Rahmawati Ajak Pemkot Surabaya Optimalkan APBD 2025
Ia menilai pengawasan selama ini masih minim dan hanya mengandalkan operasi yustisi yang sifatnya reaktif, bukan sistematis.
Srikandi Politisi dari PKS ini juga mengkritik, munculnya sanksi denda hingga Rp50 juta bagi pelanggar perda soal sampah sebenarnya sah-sah saja, namun perlu ditinjau ulang efektivitas dan implementasinya.
“Kalau warga tidak mampu, apa iya langsung bisa bayar denda segitu? Padahal tidak ada sanksi pidananya juga,” tambahnya.
"Upaya besar yang lebih penting adalah membangun budaya masyarakat agar sadar kebersihan dan tidak membuang sampah sembarangan.Budaya ini harus dibentuk dan dikuatkan terus-menerus. Tidak bisa instan,” tegasnya.
Baca juga: Sengketa Bale Hinggil Sudah Masuk Ranah Hukum, Aning Rahmawati Sebut Bukan Lagi Wewenang Komisi C
Aning juga menyoroti lemahnya penerapan Perwali No. 10 Tahun 2017 tentang larangan penggunaan plastik sekali pakai. Ia membandingkan dengan Bali, di mana regulasi sudah diterapkan dengan tegas dan konsisten.
“Saya ke Bali beli nasi pun sudah tidak dikasih plastik, karena perda mereka jalan. Di Surabaya? Masih setengah hati. Perwali kita ini belum konkret,” ungkapnya.
Pemerintah kota dinilai belum berani bertindak tegas karena manajerial pengawasan belum berjalan optimal. Aning menyebut kunci keberhasilan ada pada sinkronisasi antara kelurahan, kecamatan, dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
Baca juga: Rencana Underpass di Taman Pelangi Surabaya Berubah Jadi Flyover, Aning Rahmawati Sebut Alasannya
“DLH harus punya strategi manajerial yang jelas. Misalnya kapan kelurahan A bergerak, lalu kapan DLH turun. Harus ada koordinasi yang rapi dan berkelanjutan,” katanya.
Ia juga mengingatkan,sosialisasi harus masif dan berkelanjutan, tidak hanya muncul ketika ada kasus atau viral di media sosial. Tanpa edukasi publik yang terus-menerus dan sarana prasarana pendukung, menurutnya penegakan perda justru bisa jadi bumerang.
“Kalau semua ini dilakukan, insya Allah Surabaya bisa bebas dari sampah liar. Tapi kuncinya ya, jangan setengah-setengah. Bangun budaya bersih, perkuat pengawasan, dan kelola penegakan dengan manajerial yang baik,” pungkas Aning.(Rda)
Editor : rudi