SURABAYA | ARTIK.ID - Kasus BLBI adalah salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia yang terjadi pada masa krisis moneter 1997-1998. BLBI adalah pinjaman yang diberikan oleh Bank Indonesia (BI) kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas akibat krisis.
Pinjaman-pinjaman itu seharusnya dikembalikan oleh bank-bank penerima dengan bunga dan jaminan aset.
Baca Juga: DJP Temukan Modus Penipuan Baru Mengatasnamakan Pegawai Pajak
Namun, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut dan melakukan penyelewengan aset yang dijadikan jaminan.
Salah satu bank yang terlibat dalam kasus tersebut adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki oleh Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.
Berikut adalah kronologis kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim:
Pada 21 September 1998, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Sjamsul Nursalim menandatangani Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) yang mengatur penyelesaian pengambilalihan pengelolaan BDNI oleh BPPN.
Dalam MSAA tersebut, Sjamsul Nursalim bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajiban BDNI sebesar lebih dari Rp 47 triliun dengan cara tunai atau penyerahan aset.
Pada tahun 2000, BPPN melakukan audit terhadap aset-aset yang diserahkan oleh Sjamsul Nursalim dan menemukan adanya misrepresentasi atau penyajian data palsu. Salah satunya adalah aset berupa piutang petambak sebesar Rp 4,8 triliun yang ternyata macet dan tidak bisa ditagih.
BPPN kemudian meminta Sjamsul Nursalim untuk menambah aset sebagai ganti kerugian, tetapi permintaan ini ditolak.
Pada Oktober 2003, BPPN mengadakan rapat dengan Itjih Nursalim dan pihak lain untuk membahas rencana penghapusan piutang petambak Dipasena. Dalam rapat tersebut, Itjih Nursalim membantah adanya misrepresentasi dari suaminya dan meminta agar piutang tersebut dihapuskan.
Pada Februari 2004, BPPN melaporkan dan meminta pada Presiden RI agar piutang petambak Dipasena dihapuskan. Namun, rapat kabinet terbatas yang membahas hal ini tidak memberikan persetujuan atau keputusan.
Pada 12 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Kepala BPPN dan Itjih Nursalim menandatangani akta perjanjian penyelesaian akhir yang menyatakan bahwa Sjamsul Nursalim telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan MSAA. Padahal, masih ada sisa utang sebesar Rp 4,58 triliun yang belum diselesaikan.
Baca Juga: Inul Daratista Kejutkan Publik dengan Rencana Pensiun dari Dunia Dangdut
Pada 26 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa Sjamsul Nursalim telah memenuhi kewajiban sebagai pemegang saham BDNI.
Akibat perjanjian penyelesaian akhir tersebut, negara dirugikan sebesar Rp 4,58 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka tindak pidana korupsi pada tahun 2017. KPK juga menetapkan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sebagai tersangka pada tahun 2019.
Tutut Soeharto
Siti Hardijanti Hastuti Soeharto, atau yang lebih dikenal dengan nama Tutut Soeharto, adalah putri sulung dari mantan Presiden Republik Indonesia ke-2 Soeharto. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Sosial pada Kabinet Pembangunan VII sejak 14 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998.
Selain itu, ia juga merupakan pengusaha dan pemilik beberapa perusahaan, di antaranya PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) dan Bank Yama.
Tutut Soeharto juga terlibat dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menimbulkan kerugian negara triliunan rupiah.
Baca Juga: Sri Mulyani Tuduh, Anjloknya Rupiah Karena Federal Reserve Naikkan Suku Bunga
Menurut Juru Bicara Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, ada tiga entitas milik Tutut Soeharto yang memiliki utang ke sindikasi bank yang mendapat kucuran BLBI dan masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Ketiga entitas tersebut adalah PT CMNP, PT Citra Lamtoro Gung, dan PT Citra Lamtoro Gung Persada.
Tutut Soeharto adalah komisaris utama atau direktur utama PT CMNP pada periode 1987-1999, saat pemerintah mengucurkan BLBI. Ia juga komisaris utama dan pengendali Bank Yama, yang juga menerima BLBI dan menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Tutut Soeharto sebagai penanggung jawab Bank Yama menyelesaikan kewajiban dan dinyatakan selesai setelah memperoleh Surat Keterangan Lunas pada 2003.
Namun, Prastowo mengatakan bahwa penyelesaian kewajiban Bank Yama tidak berarti penyelesaian kewajiban PT CMNP dan dua entitas lainnya yang masih memiliki utang ke sindikasi bank. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak pernah menghapus utang-utang tersebut dan tetap berusaha menagihnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Kasus BLBI ini kembali mencuat setelah pengusaha Jusuf Hamka yang mengklaim sebagai pemilik PT CMNP menagih utang pemerintah sebesar Rp179 miliar kepada perusahaannya. Jusuf Hamka mengaku telah membeli saham PT CMNP dari Tutut Soeharto pada tahun 2000 dengan harga Rp1 triliun. Namun, Prastowo membantah klaim tersebut dan menyebut bahwa Tutut Soeharto masih tercatat sebagai pemegang saham pengendali PT CMNP hingga saat ini.
(artik/team)
Editor : Natasya