Peringati Hari Limfoma Sedunia, di Indonesia Kampanye ‘Honest Talk’ Dorong Edukasi Publik

Ilustrasi gambar dibuat dengan AI
Ilustrasi gambar dibuat dengan AI

SURABAYA - Hari Limfoma Sedunia diperingati setiap 15 September, sebuah momentum penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat internasional terhadap kanker kelenjar getah bening.

Penyakit ini masih menjadi tantangan kesehatan di banyak negara dan dapat menyerang siapa saja. Faktor yang sangat menentukan dalam proses pemulihan antara lain deteksi dini, pilihan terapi yang tepat, serta dukungan keluarga dan lingkungan sekitar.

Limfoma sendiri termasuk jenis kanker darah yang berkembang pada sistem limfatik, yaitu jaringan yang berfungsi melawan infeksi.

Penyakit ini menyerang limfosit, sejenis sel darah putih, dan dikenal luas sebagai kanker kelenjar getah bening. Secara umum, limfoma terbagi menjadi dua kelompok besar, yakni Limfoma Hodgkin dan Limfoma Non-Hodgkin.

Sejarah penemuan limfoma berawal pada tahun 1832, ketika dokter Inggris Thomas Hodgkin mendeskripsikan sejumlah kasus pembesaran kelenjar getah bening dan limpa melalui tulisannya On Some Morbid Appearances of the Absorbent Glands and Spleen.

Temuan tersebut kemudian dianggap sebagai dokumentasi pertama limfoma. Dua dekade kemudian, pada 1856, dokter Samuel Wilks memperdalam penelitian itu dan menamai penyakit ini sebagai Hodgkin’s Disease untuk menghormati penemunya.

Perkembangan pengetahuan medis pada awal abad ke-20, terutama melalui kemajuan mikroskop, memungkinkan para ahli membedakan Limfoma Hodgkin dari berbagai jenis Limfoma Non-Hodgkin.

Langkah ini menjadi tonggak penting karena keduanya memiliki perjalanan penyakit dan pendekatan pengobatan yang berbeda.

Pada 1950-an, radiasi mulai digunakan sebagai terapi, dan pada 1970-an muncul kemoterapi kombinasi MOPP yang kemudian digantikan oleh ABVD, terbukti lebih efektif dan aman.

Revolusi pengobatan berlanjut pada 1990-an dengan diperkenalkannya imunoterapi, salah satunya melalui obat antibodi monoklonal rituximab, yang memberi harapan baru bagi pasien limfoma non-Hodgkin.

Kini, dunia medis memasuki era targeted therapy dan CAR-T cell therapy, di mana sel imun pasien direkayasa secara genetik untuk melawan kanker dengan hasil yang menjanjikan.

Seiring waktu, sistem klasifikasi limfoma juga terus diperbarui. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2001 dan 2008 merilis klasifikasi lebih rinci yang mencakup aspek morfologi, imunologi, genetik, hingga klinis.

Saat ini, sudah teridentifikasi lebih dari 60 subtipe limfoma non-Hodgkin, masing-masing dengan karakteristik unik dan strategi penanganan yang berbeda.

Di Indonesia sendiri, limfoma termasuk salah satu kanker yang cukup sering dijumpai. Data Kementerian Kesehatan tahun 2023 mencatat sekitar 16.125 kasus, atau 4,1% dari total kasus kanker nasional, menjadikannya sebagai kanker dengan jumlah kasus ketujuh terbanyak.

Tantangan terbesar masih terletak pada keterlambatan diagnosis, di mana banyak pasien datang dalam kondisi stadium lanjut, sehingga menurunkan efektivitas pengobatan sekaligus meningkatkan biaya perawatan.

WHO pun mencatat tren peningkatan kasus limfoma dari tahun ke tahun di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Hari Limfoma Sedunia tahun ini mengusung tema “Honest Talk” yang menekankan pentingnya keterbukaan terkait gejala, diagnosis, dan akses perawatan.

Kampanye ini mendorong masyarakat agar lebih waspada terhadap tanda-tanda awal limfoma serta berani memeriksakan diri sejak dini.

Berbagai rumah sakit, komunitas pasien, dan organisasi kesehatan turut menggelar kegiatan edukatif, seminar, hingga pemeriksaan kesehatan gratis di sejumlah kota besar.

Peringatan ini tidak hanya bertujuan untuk memberi edukasi, tetapi juga membangun solidaritas dengan para pasien.

Dukungan moral, akses layanan medis yang memadai, serta kolaborasi berbagai pihak diharapkan dapat membantu pasien menghadapi pengobatan sekaligus meningkatkan peluang kesembuhan.

Semakin cepat penyakit ini dikenali, semakin besar kesempatan pasien untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.

Dengan adanya kampanye global dan dukungan berkelanjutan, Hari Limfoma Sedunia diharapkan mampu memperkuat kepedulian publik.

Melalui sinergi antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat, angka keterlambatan diagnosis dapat ditekan dan harapan hidup pasien limfoma terus meningkat dari tahun ke tahun. (red)

Editor : Fudai