Wajah Wisata Mangrove Surabaya Megah di Atas Kertas, Realitanya Masih Tertinggal Kritik Cak YeBe

Reporter : rudi
Kebun raya Mangrove Surabaya

SURABAYA – Momentum libur akhir tahun 2025 seharusnya menjadi panggung emas bagi Kebun Raya Mangrove Surabaya. Namun realitas di lapangan justru menunjukkan wajah lain,potensi besar yang belum diolah dengan keseriusan dan keberanian terobosan.

 

Baca juga: KBS Luncurkan “Komogo”, Maskot Baru Berjiwa Global Sambut Lonjakan Wisata Nataru

Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko yang akrab disapa Cak Yebe, menilai pengelolaan wisata mangrove masih berjalan di tempat. Padahal, kawasan seluas 34 hektar yang membentang di Wonorejo, Gunung Anyar, dan Medokan Sawah itu telah diresmikan sebagai Kebun Raya Mangrove Surabaya sejak Juli 2023 dan diklaim sebagai satu-satunya kebun raya mangrove di Indonesia.

“Kalau aset sebesar ini dikelola setengah hati, jangan heran kalau dampaknya ke PAD nyaris tak terasa. Ini bukan soal nama besar, tapi soal keberanian mengelola secara profesional,” tutur Cak YeBe pada Warta Artik.id Senin (21/12).

 

Kritik itu menemukan pembenarannya di lapangan. Minimnya akses transportasi umum membuat wisata mangrove terasa eksklusif dan sulit dijangkau. Pengunjung dipaksa mengandalkan kendaraan pribadi atau transportasi daring, tanpa penunjuk arah yang memadai.

“Saya cuma lihat penunjuk arah ke bozem, sisanya tanya orang sambil buka maps. Deg-degan takut kesasar,” ujar Maria, salah satu pengunjung yang datang bersama keluarganya.

 

Fakta ini sejalan dengan hasil penelitian Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya tahun 2020 yang mencatat masalah klasik: ketiadaan transportasi umum, lemahnya koordinasi antar instansi, serta pengembangan kawasan sekitar yang tak kunjung optimal. Ironisnya, lima tahun berlalu, problem tersebut masih berulang.

 

Strategi pengembangan wisata mangrove tahun 2025, mulai dari sentra kuliner, jogging track, hingga konsep natural resources dinilai Cak Yebe masih sebatas wacana di atas kertas.

“Sentra kuliner hanya papan nama, lapaknya kosong. Pengunjung malah disarankan bawa bekal sendiri. Ini sinyal kuat bahwa pengelolaan belum serius,” kata Arya, pengunjung lainnya.

 

Fasilitas yang tersedia masih sangat mendasar: toilet, mushollla sederhana, dan area parkir seadanya. Jauh dari ekspektasi wisata modern yang edukatif dan berdaya saing.

 

Cak Yebe juga menyoroti konflik laten antara konservasi dan ekonomi masyarakat. Data Universitas Airlangga menunjukkan sekitar 40 persen hutan mangrove di Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) dalam kondisi rusak. Penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan dan konflik kepemilikan yang tak kunjung diselesaikan secara adil.

Baca juga: Piala KONI Surabaya 2025 Jadi Titik Balik Ju-jitsu, 560 Atlet Adu Teknik Berburu Prestasi

“Pemerintah bicara konservasi, tapi warga kehilangan mata pencaharian tanpa solusi. Ini bom waktu,” imbuhnya.

 

Penanaman mangrove masih rendah. Data BRIN dan DKPP mencatat 5–10 persen tanaman mati, akibat salah waktu tanam, jenis tanaman yang tidak sesuai, hingga sampah plastik yang menutup akar.

 

Di tengah tekanan fiskal dan berkurangnya dana transfer pusat, Cak Yebe menilai Pemkot Surabaya tidak punya pilihan selain menjadikan sektor pariwisata sebagai mesin PAD baru.

“APBD tertekan, tapi pariwisata dikelola biasa-biasa saja. Tanpa visi dan inovasi, aset wisata hanya jadi beban, bukan sumber pendapatan,” tegas politisi Gerindra tersebut.

 

Hingga pertengahan 2024, rata-rata kunjungan Kebun Raya Mangrove hanya sekitar 6.000 orang per bulan, angka yang dinilai jauh dari potensi riil kota metropolitan seperti Surabaya.

Baca juga: Lewat Pagelaran Pusaka Brojo Wahni, Cak YeBe Nilai Keris Bentuk Identitas Peradaban Nusantara 

 

Di saat wisatawan menuntut pengalaman interaktif dan digital, konsep wisata mangrove Surabaya dinilai tertinggal. Spot foto dan menara pandang belum cukup kuat sebagai daya tarik. Edukasi masih kaku, promosi minim, dan kolaborasi dengan pelaku industri pariwisata nyaris tak terlihat.

“Bayangkan kalau PHRI dan ASITA dilibatkan. Wisatawan hotel bisa langsung diarahkan ke paket wisata mangrove. Ini peluang besar yang terbuang,” kata Cak Yebe.

 

Kunci kebangkitan wisata mangrove ada pada keberanian Pemkot Surabaya: membuka akses transportasi, menunjuk pengelola profesional, menyelesaikan konflik lahan secara adil, meningkatkan fasilitas, dan melakukan promosi masif.

“Ini soal keberanian menjawab tantangan. Mengelola aset wisata secara profesional bukan hanya soal PAD, tapi soal kebanggaan warga dan ikon kota Surabaya,” tandasnya.

 

Menjelang akhir 2025, pilihan ada di tangan Pemerintah Kota Surabaya: mengubah wisata mangrove menjadi lokomotif pariwisata dan sumber PAD, atau membiarkannya terus berjalan di tempat. Warga menunggu, potensi besar tak bisa terus disia-siakan. (Rda)

Editor : rudi

Peristiwa
10 Berita Teratas Pekan Ini
Berita Terbaru