Polemik SPPG di Villa Bukit Mas DPRD Surabaya: Utamakan Dialog, Cari Jalan Tengah

Reporter : rudi
Suasana saat hearing di komisi D DPRD Surabaya. (Doc rudy2)

SURABAYA – Ketegangan antara warga Villa Bukit Mas Cluster Jepang dan pengelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) akhirnya mencuat di Ruang Komisi D DPRD Surabaya. Suara warga yang mendambakan ketenangan beradu dengan komitmen kuat pengelola menjalankan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk ribuan siswa penerima manfaat.

 

Baca juga: Razia Kos-kosan Jadi Respons atas Insiden Tragis, DPRD Surabaya Tekankan Pendekatan Humanis

Wakil Ketua RT 01, Anthoni Darsono, mengungkapkan keresahan warga atas keberadaan SPPG yang dinilai berpotensi menimbulkan kerawanan keamanan, masalah limbah, hingga dugaan ketidaksesuaian izin bangunan.

“Awalnya disebut renovasi rumah, ternyata jadi dapur produksi. Kalau terjadi apa-apa, siapa yang bertanggung jawab? Warga kami mayoritas lansia, butuh ketenangan,” tegas Anthoni.

 

Menjawab keresahan itu, Ketua Yayasan Ina Makmur, Joko Dwitanto, menyatakan pihaknya siap direlokasi namun memohon waktu. Pasalnya, SPPG saat ini menjadi tulang punggung distribusi makanan sehat untuk 3.500 siswa.

“Izin kami resmi. Kalau harus pindah, kami siap. Tapi beri kami waktu, karena anggaran dan proses relokasi butuh persiapan. Yang penting anak-anak tetap menerima haknya,” ujarnya.

 

Perwakilan DPMPTSP, Ulfia, menambahkan bahwa operasional SPPG wajib memenuhi sejumlah syarat legalitas, seperti NIB, sertifikat standar provinsi, dan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).

Sedangkan pihak Bappedalitbang menekankan perlunya kesepakatan lingkungan, karena zona perumahan masih memungkinkan kegiatan home industry dengan syarat pengelolaan limbah yang baik.

 

Dalam Hearing tersebut, DPRD Surabaya mengambil peran sebagai jembatan dialog. Anggota Komisi D, Johari Mustawan, menilai dinamika ini wajar dan menekankan bahwa tidak ada yang salah dari kedua belah pihak.

Baca juga: Imam Syafi’i Serap Aspirasi Warga Soroti PJU Hingga Proyek Mubazir Pemkot Surabaya

“Warga ingin tenang, yayasan ingin jalankan program negara. Solusinya? Yayasan siap relokasi, sambil menunggu bisa dibuat surat pernyataan tertulis agar warga tenang,” katanya.

 

Senada dengan itu, Ajeng Wira Wati menyarankan solusi jalan tengah berupa izin sementara enam bulan, asalkan aspek keamanan, kebersihan, dan kenyamanan warga tetap dijaga.

“Program MBG ini untuk kepentingan bersama, bukan pribadi. Maka dukungan dan toleransi dari semua pihak sangat dibutuhkan,” ujarnya.

 

Wakil Ketua Komisi D, Lutfiyah, mengapresiasi komitmen yayasan yang siap pindah maksimal dalam enam bulan, bahkan lebih cepat jika lokasi baru ditemukan.

Baca juga: Reses DPRD Surabaya Diwarnai Keluhan Warga Tambak Asri: Normalisasi Kalianak Jangan Korbankan Kami

“Yang penting ada komitmen menjaga lingkungan. Kalau relokasi bisa lebih cepat, itu lebih baik,” jelasnya.

 

Polemik yang sempat memanas akhirnya menemukan titik terang. Semua pihak sepakat bahwa dialog, komitmen, dan komunikasi terbuka adalah kunci penyelesaian. Relokasi disepakati maksimal enam bulan, dengan pengawasan ketat agar operasional sementara tidak mengganggu warga.

“Bukan soal siapa yang benar, tapi bagaimana semua bisa tenang dan program tetap berjalan,” pungkas Johari.

 

Dengan kesepakatan ini, Surabaya sekali lagi membuktikan bahwa kolaborasi dan itikad baik bisa menyelesaikan masalah kompleks. Warga tetap terlindungi, dan ribuan siswa tetap menerima manfaat dari program prioritas nasional yang terus dikawal.(Rda) 

Editor : rudi

Peristiwa
10 Berita Teratas Pekan Ini
Berita Terbaru