SURABAYA – Kota Pahlawan kembali diguncang isu lama yang tak kunjung padam. Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, mengeluarkan pernyataan keras terkait maraknya praktik prostitusi terselubung di sejumlah titik kota. Fenomena ini dinilainya bukan hanya mencoreng wajah Surabaya, tetapi juga mengancam masa depan generasi muda.
Baca juga: Api Juang Tak Pernah Padam: Cak YeBe dan Spirit Arek Suroboyo Menuju Indonesia Emas 2045
“Kami berulangkali mengingatkan kepada Pemkot Surabaya melalui Satpol PP serta Bapemkesra yang menaungi lurah dan camat untuk tegas melakukan tindakan jika ada tempat-tempat yang ditengarai digunakan sebagai lokasi prostitusi,” tegas Yona pada Warta Artik.id Senin (17/11).
Politisi Gerindra yang akrab disapa Cak Yebe itu menyebut prostitusi kini menjelma dalam berbagai bentuk,dari yang konvensional hingga yang memanfaatkan platform digital. sejumlah lokasi justru terus beraktivitas meski berkali-kali ditertibkan.
Salah satu titik krusial adalah kawasan Moroseneng, yang pada Oktober 2025 masih harus diawasi ketat lewat patroli Satpol PP Kecamatan Benowo dari pukul 23.00 hingga 04.00 WIB setiap hari. Lokasi itu berulang kali menjadi sorotan karena diduga menjadi ruang transaksi prostitusi terselubung.
“Termasuk tempat-tempat pijat tradisional berizin Pelayanan Kesehatan Tradisional dan penginapan yang diduga dipakai untuk layanan prostitusi online,” tambahnya.
Selain Moroseneng, kawasan eks Lokalisasi Dolly kembali mencuat setelah penggerebekan pada 16 November 2025. Petugas kembali menemukan aktivitas prostitusi terselubung di sekitar Gang Dolly Putat Jaya Timur III B, mengamankan dua pekerja seks komersial (PSK) dan dua mucikari.
Menurut Cak YeBe, temuan itu menjadi bukti bahwa praktik prostitusi belum benar-benar hilang dari Surabaya, bahkan di lokasi yang pernah menjadi simbol keberhasilan penutupan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara.
“Masih banyak lokasi rumah kos dan wisma yang meskipun tertutup secara formal, tetap digunakan untuk aktivitas prostitusi terselubung,” tegas Wakil Ketua DPC Gerindra Surabaya ini.
Baca juga: Gerindra Surabaya Panaskan Mesin Politik di Trawas, Rancang Strategi Menang Pemilu 2029
Cak YeBe mengingatkan bahwa hukum telah mengatur secara tegas mengenai sanksi bagi pelaku prostitusi dan perdagangan orang. Antara lain:
Pasal 296 KUHP – Pidana 1 tahun 4 bulan
Pasal 506 KUHP – Kurungan 1 tahun
UU ITE – Pidana 6 tahun atau denda Rp 1 miliar
UU TPPO – Penjara 3–15 tahun dan denda Rp 120–600 juta.
“Maraknya praktik prostitusi terselubung baik konvensional maupun melalui platform digital jelas melanggar regulasi,” ujarnya.
Baca juga: Maknai Hari Sumpah Pemuda,Cak Yebe Dorong Gen Z Surabaya Jadi Pionir Inovasi, Modale Wani Tok
Surabaya sebagai kota metropolitan memang rentan terhadap eksploitasi seksual terselubung. Namun hal ini, katanya, justru harus memacu perangkat pemerintahan untuk bekerja lebih disiplin dan terkoordinasi.
“Dibutuhkan kesadaran, komitmen, dan konsistensi semua pihak untuk bersama-sama menciptakan Surabaya bersih dari prostitusi. Tanpa itu semua pasti akan sia-sia,” imbuhnya.
Lebih jauh, Yona mengingatkan, prostitusi bukan hanya melanggar hukum tetapi juga merusak pondasi moral masyarakat dan mencemari citra Surabaya. Ia kembali menegaskan pentingnya menjaga warisan keberhasilan penutupan Dolly pada era Tri Rismaharini.
“Dampak besar prostitusi adalah merusak moral generasi muda dan citra kota Surabaya. Penutupan Dolly dulu menjadi prestasi yang mengakhiri label Surabaya sebagai kota dengan wisata esek-esek terbesar di Indonesia,” pungkasnya. (Rda)
Editor : rudi