Ridwan Hisjam: Polemik Adies Kadir Bukti DPR Lemah, Bangsa Perlu Reformasi Jilid II

Reporter : Natasya

JAKARTA - Keputusan Partai Golkar menonaktifkan Adies Kadir dari kepengurusan partai menuai sorotan publik. Langkah ini diambil setelah eskalasi demonstrasi terkait kontroversi tunjangan DPR semakin meluas di sejumlah daerah.

Adies Kadir, Wakil Ketua DPR RI, sebelumnya menuai kritik keras usai pernyataannya mengenai tunjangan rumah legislator sebesar Rp50 juta per bulan. Ia juga sempat menyebut adanya tunjangan beras Rp12 juta per bulan, meski kemudian mengklarifikasi bahwa data tersebut keliru.

Baca juga: Oknum Aktivis Minta Rp 50 Juta, Sugiharto: Ini Luka Bagi Dunia Pergerakan!

Menurut politisi senior Golkar, Ridwan Hisjam, kasus nonaktifnya Adies Kadir perlu dilihat dalam konteks hukum. Ia menegaskan, dalam Undang-Undang MD3 tidak dikenal istilah “nonaktif” bagi anggota DPR. Hanya ada tiga alasan sah untuk memberhentikan anggota dewan, yakni mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW).

“Kalau memang betul-betul mau diberhentikan dari DPR, satu-satunya jalan adalah yang bersangkutan mengundurkan diri. Barulah bisa diproses PAW. Kalau tidak, tidak bisa. Itulah kekuatan dari anggota DPR,” ujar Ridwan.

Ia menjelaskan, partai politik memang punya kewenangan besar atas kadernya di DPR, tetapi sejak UU MD3 tahun 2013 berlaku, recall langsung seperti di masa Orde Baru sudah tidak dimungkinkan.

“Selama masih terdaftar sebagai anggota DPR, statusnya tetap berjalan. Bedanya, kalau dinonaktifkan, dia tidak bisa ikut rapat, kunjungan kerja, atau fungsi kedewanan lain. Akibatnya, tunjangan terhenti, tapi gaji pokok tetap dibayarkan,” jelasnya.

Ridwan menilai, langkah nonaktif ini hanya bertujuan meredam amarah publik. Jika masyarakat puas, persoalan dianggap selesai. Namun bila penolakan tetap muncul, partai biasanya melakukan pendekatan lebih lanjut.

“Kalau rakyat masih tidak bisa menerima, sebaiknya yang bersangkutan legowo mengundurkan diri agar PAW bisa berjalan,” tegasnya.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa pemecatan juga bukan perkara mudah. Jika dilakukan sepihak, anggota DPR bisa menggugat ke pengadilan, ditambah masih ada proses panjang di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Baca juga: OTT Oknum LSM, Ketua Forum Pemerhati Pendidikan Jatim Prihatin Mahasiswa Terlibat Pemerasan

Ridwan mencontohkan pengalamannya saat memimpin DPRD Jawa Timur. “Bahkan ketika partai sudah sepakat, kalau pimpinan dewan tidak setuju, proses pemecatan bisa terhambat. Jadi partai harus hati-hati, jangan gegabah. Kalau salah langkah, bukan hanya kader dan partai yang kena, tapi juga bisa memicu kemarahan rakyat maupun pemerintah,” ujarnya.

Ia juga menyoroti potensi masalah bila anggota DPR terlalu lama tidak aktif. Menurutnya, absensi selama satu masa sidang bisa diproses oleh MKD, meskipun konteks nonaktif karena keputusan partai berbeda dengan ketidakhadiran atas kehendak pribadi. “Jalan terbaik tetap pengunduran diri,” tambahnya.

Biasanya, kata Ridwan, kompromi ditempuh dengan memberi posisi lain, misalnya sebagai duta besar. Ia menegaskan, UU MD3 sejatinya dibuat untuk melindungi anggota DPR dari intervensi partai, sesuai semangat reformasi agar mereka benar-benar menjadi wakil rakyat, bukan sekadar perpanjangan tangan partai.

Namun ia menilai banyak anggota DPR saat ini justru melemah. “Mereka tidak vokal memperjuangkan aspirasi rakyat karena takut kehilangan tunjangan. Padahal seharusnya berani membuka dialog dengan rakyat. Kalau dialog dibuka, keributan seperti ini mungkin bisa dihindari,” ujarnya.

Ridwan juga menyinggung polemik tunjangan sebagai bukti lemahnya fungsi representasi DPR. Menurutnya, revisi mendasar perlu dilakukan. “Bukan hanya UU MD3 yang harus dibenahi, tapi kita perlu kembali pada UUD 1945 yang asli. Reformasi memang membawa amandemen, tapi setelah 27 tahun justru kondisi bangsa makin sulit. Kita butuh reformasi jilid kedua,” katanya.

Baca juga: KFAK Gandeng AWS, Perluas Wawasan Magang Siswa ke Dunia Jurnalistik

Ia menilai demokrasi kini cenderung liberal dan jauh dari semangat Pancasila. “Demokrasi kita tidak sesuai dengan sila keempat Pancasila, musyawarah mufakat. Kalau mau selamat, kita harus kembali ke prinsip itu,” pungkasnya.

Sementara itu, sejumlah peserta aksi di lapangan menyuarakan kekecewaan. “Jangan memperbodoh rakyat dengan dalih nonaktif dari partai, tapi masih duduk manis di DPR RI. Itu sama saja tidak ada bedanya,” ujar seorang peserta.

Peserta lain menambahkan, “Ketua DPP Golkar Bahlil jangan lip service. Kalau mau tegas, ya harus sekalian dicopot dari DPR, bukan setengah-setengah.”

Kini publik menanti langkah lanjutan: apakah Golkar maupun MKD DPR RI akan benar-benar mengambil tindakan tegas hingga pada pemberhentian Adies Kadir sebagai anggota dewan. Polemik ini dinilai bisa menggerus kepercayaan publik terhadap institusi DPR.

Editor : Natasya

Peristiwa
10 Berita Teratas Pekan Ini
Berita Terbaru