DENPASAR | ARTIK.ID - Nyoman Sukena (25), seorang pemuda dari Banjar Karang Dalem II, Desa Bongkasa Pertiwi, Badung, kini tengah menghadapi proses hukum yang mengancam kebebasannya. Hanya karena memelihara empat ekor landak, ia harus duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar pada Selasa (29/8/2024). Tanpa tahu bahwa landak merupakan satwa yang dilindungi, Sukena kini dihadapkan pada ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
Baca juga: LPD Desa Adat Lukluk Pertama di Bali, Terapkan Digitalisasi Tingkatkan Kepercayaan, Layanan Krama
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Bali, Dewa Gede Ari Kusumajaya, dalam dakwaannya menyatakan bahwa Sukena melanggar Pasal 21 ayat (2) huruf a juncto Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Selain itu, ia juga didakwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
“Sukena ditangkap karena memiliki dan memelihara satwa yang dilindungi tanpa izin resmi,” ujar JPU Dewa Ari. Penangkapan dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali pada Senin (4/3) di rumah Sukena, yang kemudian menyita empat ekor landak sebagai barang bukti.
Sukena, yang sehari-hari bekerja sebagai petani, mengungkapkan bahwa ia sama sekali tidak tahu bahwa landak yang ia pelihara merupakan satwa dilindungi. Kisahnya bermula lima tahun lalu ketika ayah mertuanya menemukan dua ekor landak kecil di ladang. Karena merasa kasihan dan tertarik memelihara hewan, Sukena merawat landak tersebut, yang kemudian berkembang biak hingga menjadi empat ekor.
“Saya tidak tahu kalau landak ini termasuk satwa dilindungi. Di tempat kami, landak sering dianggap hama perkebunan,” ungkapnya dalam persidangan. Sukena juga menegaskan bahwa ia memelihara landak-landak itu hanya karena hobi, bukan untuk diperjualbelikan.
Baca juga: LPD Desa Adat Lukluk Pertama di Bali, Terapkan Digitalisasi Tingkatkan Kepercayaan, Layanan Krama
Namun, keputusannya untuk merawat hewan tersebut berujung pada laporan masyarakat yang berakibat pada penangkapannya. Kini, Sukena dihadapkan pada ancaman pidana berat, meskipun niatnya hanya untuk melindungi hewan tersebut.
Dalam kasus ini, seruan empati dan keadilan pun bergema dari berbagai kalangan. Aktivis sosial Niluh Djelantik turut menyuarakan ketidakadilan yang dirasakan Sukena. Melalui akun media sosialnya, ia dengan lantang meminta agar Sukena dibebaskan.
“Bebaskan Nyoman Sukena! Buktikan bahwa kalian punya empati,” seru Niluh Djelantik, mengkritik ketimpangan hukum yang terjadi di Indonesia. Ia juga mempertanyakan, “Dimana keadilan? Helo, apa kabar para koruptor?” menyinggung perbandingan antara hukuman bagi pelanggaran kecil seperti ini dengan tindakan korupsi yang seringkali dihukum ringan.
Kasus ini membuka mata publik akan pentingnya pemahaman terhadap aturan-aturan konservasi satwa, sekaligus menyoroti perlunya pendekatan yang lebih bijaksana dan manusiawi dalam menegakkan hukum. Masyarakat berharap bahwa keadilan tetap berpihak pada mereka yang tulus dan tidak berniat melanggar hukum, seperti Sukena, yang hanya ingin memelihara hewan kesayangannya.(*)
Sumber: fajarbali
Editor : LANI